ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia kesulitan dalam mengoptimalkan berbagai kekayaan alam untuk dikonversi menjadi sumber energi bersih.
Padahal, Indonesia memiliki komoditas melimpah yang bisa dikonversi sebagai bahan bakar seperti etanol dan biodiesel. Terdapat minyak kelapa sawit (CPO) sebagai bahan dasar pembuatan bioediesel yang belum dioptimalkan, maupun tanaman seperti singkong dan jarak yang bisa jadi bahan etanol.
“Di Indonesia jarang disinggung soal biofuel, kita punya etanol kita punya CPO yang semuanya bisa digunakan sebagai pengganti fosil bio atau sebagai tambahan yang kita anggap sebagai bahan bakar yang bisa baru yang terbarukan dan ini belum dioptimalkan,” jelas Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) di forum “The Indonesia Summit 2023”, yang diselenggarakan oleh PT Bank Danamon Indonesia Tbk., Bank MUFG, dan PT Adira Dinamika Multi Finance pada pekan lalu.
Menurutnya, Indonesia masih bisa mengoptimalkan biofuel yang lebih ramah lingkungan sebagai solusi pengganti energi fosil. Sebab, sangat besar keinginan para investor untuk mengoptimalkan biofuel yang telah digulirkan sejak 20 tahun lalu.
“Peluang bagi investor sangat terbuka disini, untuk mengoptimalkan biodiesel karena isu ini sudah lebih dari 20 tahun dibicarakan namun belum ada wujudnya, justru kalah dengan yang sekarang elektical vehicle (kendaraan listrik),” urainya.
Lebih jauh, Kukuh mengungkapkan kehadiran beberapa calon investor yang ingin memproduksi etanol di Indonesia. Namun sayangnya, selama ini proyek biofuel terkesan ditelantarkan bahkan kalah dibandingkan dengan program elektrifikasi kendaraan belakangan ini.
“Padahal dengan biofuel, posisi Indonesia menjadi kuat, karena sumber energi ramah lingkungan tak cuma satu dengan listrik, melainkan bisa berbagai jenis. Dengan begitu ketergantungan kita terhadap pasokan listrik yang diproduksi dari batu bara pun ikut berkurang,” imbuhnya.
Ia memandang, kendala terbesar dalam mengoptimalkan produksi biofuel bukan pada sisi manufaktur otomotif, melainkan produsen bahan bakar.
“Dari otomotif, teknologi mesin sudah disiapkan, bahkan jauh lebih sederhana transformasinya dibandingkan beralih ke elektrifikasi karena melibatkan banyak komponen. Hanya saja, standardisasi biofuel belum disusun, sedangkan produsen bahan bakar masih minim padahal potensi menggaet investasi baru sangat terbuka,” jelasnya.
Sementara itu, pada Minggu (30/10/2022), Pemerintah Indonesia telah melakukan uji coba biodiesel pada enam Toyota Innova yang menggunakan biodiesel dengan campuran 40 persen kelapa sawit di dataran tinggi vulkanik, Jawa Tengah.
Uji coba ini dilakukan untuk melihat apakah bahan bakar ini dapat beradaptasi dengan ketinggian yang lebih tinggi atau tidak. Pasalnya, minyak kelapa sawit cenderung mengeras pada suhu yang lebih dingin.
Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, hasilnya sejauh ini pengujian telah menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan biodiesel menunjukan mesin dapat hidup paling cepat sekitar satu detik dan paling lama lima detik setelah penyalaan dan campuran tersebut diklaim dapat digunakan di daerah yang lebih tinggi dengan suhu antara 17-18 celsius.
“Untuk hasilnya sebagai standar menghidupkan mesin paling lama 5 detik, dan catatan saya tadi paling cepat kira-kira 1 detik. Ini Bukti otentik kalau B40 siap digunakan di-engine,” jelas Kusdiana. (ATN)
Discussion about this post