ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia berkomitmen penuh untuk mencapai pembangunan rendah karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim global.
Pembangunan rendah karbon juga menjadi salah satu strategi transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan agar Indonesia dapat keluar dari “middle income trap”.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon tertuang dalam UU No. 71 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 yang menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia, sekitar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat jika mendapat dukungan internasional. Namun Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan target tersebut mengingat besarnya investasi yang dibutuhkan.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, untuk melakukan transisi energi, dibutuhkan kesadaran untuk beralih menggunakan produk yang efisien dan ramah lingkungan, serta persiapan migrasi ke green jobs.
“Pendanaan perubahan iklim Indonesia membutuhkan investasi Rp3.799 triliun rupiah jika mengikuti NDC atau komitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon nasional untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dana yang tersedia untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim pada tahun 2020 adalah USD100 juta untuk diberikan kepada negara miskin dan berkembang sebagaimana dikonfirmasi pada COP-26 di Glasgow Scotland pada November 2021. Pemenuhan lainnya berasal dari pendanaan internasional seperti GCF (Green Climate Fund) melalui program REDD+, sukuk hijau global, sukuk hijau ritel, APBD, pajak karbon, dan perdagangan karbon,” jelas Airlangga saat berbicara di forum Global Network Week yang digagas oleh Universitas Indonesia dengan topik Indonesia’s Policies and Strategies to Embrace an Inclusive and Green Recovery, Senin (14/3/2022).
Sebagai informasi, harga jual karbon dunia saat ini berkisar 5-10 USD/ton CO2. Hasil Kesepakatan COP26 semakin meningkatkan permintaan global akan kredit karbon, sehingga membuat harga jual karbon menjadi lebih tinggi.
Hutan dan lautan Indonesia yang luas berpotensi menghasilkan kredit karbon yang dapat ditransaksikan di tingkat global untuk pencapaian target penurunan emisi di banyak negara.
Menurut Airlangga, pertemuan G20 dapat digunakan untuk melakukan kerjasama ini dengan negara-negara maju. Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove dan gambut.
Terdapat lima sektor penyumbang emisi karbon, yaitu kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk. Berbagai kebijakan pun telah disiapkan untuk menanggulangi emisi karbon di berbagai sektor tersebut.
“Kebijakan di bidang pertanahan, antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Kebijakan di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular. Kebijakan di sektor fiskal mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada tahun 2030. Kebijakan yang diterapkan di bidang energi dan transportasi, misalnya dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan dan menggunakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mendekati 100% pada tahun 2060,” jelasnya.
Dalam kaitannya dengan Energi Baru dan Terbarukan, Indonesia telah menerapkan program mandatori biodiesel B30. Dampak dari kebijakan mandatori biodiesel antara lain pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 23,3 juta ton CO2e (carbon dioxyde equivalent).
“Program tersebut telah berhasil meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi emisi karbon, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan petani kecil,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post