ASIATODAY.ID, JAKARTA – Para pelaku industri mendeklarasikan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta, pada Rabu (5/8/2020).
Forum ini menghimpun 23 smelter nikel dengan kapasitas terpasang 3.79 juta MT NPI pertahun dan 0.8 juta MT Pertahun sedang dalam pembangunan atau total hampir 90 persen kapasitas semelter nasional, disamping beberapa perusahaan tambang nikel dan turunannya mulai bergabung.
“FINI digagas sebagai forum komunikasi dan koordinasi yang terpercaya dan berdayaguna dalam membangun industri nikel Indonesia yang berkelanjutan, berwawasan kebangsaan, memiliki daya saing dan peduli terhadap lingkungan sesuai dengan semangat Undang Undang No. 3 tahun 2014 tentang Perindustrian,” kata Dr Alexander Barus, Ketua Umum FINI melalui keterangan tertulisnya Kamis (6/8/2020).
Menurut Alexander, FINI siap bergandeng tangan dengan pemangku kepentingan mewujudkan tujuan tersebut. Sampai saat ini industri nikel Indonesia menyumbangkan devisa yang sangat besar untuk pendapatan negara.
“Kami ingin memberikan kontribusi positif dalam membentuk hubungan usaha yang saling menguntungkan dengan sektor penambangan dan industri turunan nikel dalam negeri terutama dalam menjaga keseimbangan dan kemajuan bersama bisnis antara usaha turunannya,” jelasnya.
Alex memaparkan, Indonesia saat ini adalah salah satu negara penghasil bijih nikel terbesar di dunia. Data menyebutkan bahwa Indonesia memiliki cadangan 25 persen dari kebutuhan nikel dunia.
Sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaan potensi nikel harus diatur oleh negara dengan bijaksana untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Dengan tujuan tersebut, melalui Undang-undang No. 4 tahun 2009 pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menghentikan ekspor bijih nikel di awal tahun 2014 yang memang merupakan masa 5 tahun persiapan menuju industri, dengan mewajibkan para penambang untuk membangun industri pengolahan dan pemurnian.
“Industri pengolahan dan pemurnian ini untuk meningkatkan mutu mineral serta memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan,” jelasnya.
Beberapa pihak telah mulai membangun industri smelter nikel dengan keterbatasan dana dan teknologi. Oleh karena itu, kemudahan investasi menjadi harapan para pengusaha industri nikel untuk dapat membangun dan menjalankan amanah undang-undang tersebut.
Dari keterbatasan tersebut, kebijakan pemerintah membuka kembali keran ekspor akan sangat merugikan negara dalam jangka panjang dan investor sebagai pelaku industri. Jaminan terhadap keberlangsungan investasi diragukan.
Jika bijih nikel ore tetap diekspor maka akan berpengaruh pada cadangan bahan baku untuk pabrik yang sudah dibangun dengan investasi yang tidak sedikit.
Tiingginya permintaan yang tidak sebanding dengan jumlah cadangan nikel yang tidak bisa diperbarukan membuat pemerintah Indonesia menaruh perhatian khusus dengan menerapkan kebijakan strategis bukan hanya kepentingan sesaat. Pada kuartal IV tahun 2019 pemerintah menerbitkan kembali larangan ekspor bijih nikel yang efektif diberlakukan pada Januari 2020.
Pelarangan ekspor nikel tersebut dikukuhkan melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Tambang Mineral dan Batubara. Kebijakan ini berdampak sangat positif bagi tumbuhnya hilirisasi industri nikel Indonesia.
“Dalam proses hilirisasi biji nikel diolah hingga menjadi bentuk lanjutan dengan nilai lebih tinggi yang saat ini sudah mencapai produk stainless steel. Sebelumnya kita tidak pernah membayangkan Indonesia mampu memprodiksi stainless steel. Bahkan Indonesia tidak mustahil menjadi produsen katoda Li-batt terbesar dunia yang bersumber dari Ni kadar rendah. Tumbuh kembang industri hilirisasi nikel diharapkan bisa memberi efek domino positif terhadap perekonomian Indonesia khususnya area sekitar Industri dan nasional pada umumnya ,” tutup Alex Barus. (ATN)
Discussion about this post