ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri, khususnya komoditi nikel.
Kebijakan hilirisasi ini diyakini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, di antaranya melalui capaian nilai ekspor.
Menurut Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian, Dody Widodo, saat ini, industri smelter nikel yang menghasilkan NPI, feronikel, nikel hidrat dan stainless steel telah tumbuh pesat di Indonesia.
“Hingga saat ini, 19 smelter nikel telah beroperasi yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara,” kata Dody melalui keterangan tertulisnya, Senin (10/8/2020).
Selain itu kata Dody, sudah ada juga yang dalam proses pembangunan smelter nikel yang mengolah nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai yang berlokasi di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Banten.
“Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 dan 2019, nilai ekspor produk industri logam berbasis nikel berturut-turut mencapai USD4,8 miliar dan USD7,08 miliar atau meningkat 47,5 persen,” ujarnya.
Besarnya kontribusi industri smelter nikel tersebut lanjut Dody, perlu didorong untuk pengembangan hilirisasi produknya.
“Diharapkan smelter nikel tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk NPI maupun bahan baku baterai, tetapi dalam bentuk produk lebih hilir seperti produk hilir berbahan baku stainless steel dan baterai listrik,” imbuhnya.
Melihat potensi dari peran industri smelter nikel di tanah air, Kemenperin memberikan apresiasi atas terbentuknya Forum Nikel Indonesia (FINI).
“Diharapkan industri smelter nikel di dalam negeri dapat semakin berperan dalam pengembangan industri logam dasar dan produk hilir nikel,” ujar Dody.
Ketua Umum FINI Alexander Barus menyampaikan, forumnya telah menghimpun sebanyak 23 industri smelter nikel di Indonesia dengan total kapasitas terpasang 3,79 juta metrik ton NPI per tahun dan 0,8 juta metrik ton per tahun atau hampir 90 persen kapasitas smelter nasional.
“Di FINI juga ada beberapa perusahaan tambang nikel dan turunannya mulai bergabung,” sebutnya.
Menurut Alex, industri smelter tersebut telah membuktikan kontribusinya secara signifikan bagi perekonomian nasional.
“Tahun lalu, ekspor sekitar USD7 miliar. Tahun ini diproyeksi menembus USD8-10 miliar. Jadi, selain bermanfaat terhadap penerimaan devisa negara, juga bisa mengurangi defisit neraca perdagangan. Selain itu, investasinya sampai saat ini mencapai USD15-16 miliar,” paparnya.
Oleh karena itu, dalam menjaga keberlangsungan usaha, FINI berharap kepada pemerintah agar dapat memberikan kemudahan izin dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
“Kami ingin industri smelter ada sinergi dengan industri hilir. Makanya, FINI bisa menjadi mitra yang produktif dengan pemerintah. Jadi, cita-cita kita untuk membangun produk nikel, terutama produk hilir yang high-tech bisa cepat dilakukan,” paparnya.
Direktur Perwilayahan Industri Ditjen KPAII Kemenperin, Ignatius Warsito menyatakan, pemerintah telah berupaya mempermudah penataan ruang dalam pembangunan kawasan industri yang terintegrasi. Contohnya, di luar Pulau Jawa, kawasan akan difokuskan pada industri berbasis sumber daya alam.
“Salah satunya adalah Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah yang dikhususkan untuk industri logam berbasis nikel,” ujarnya.
Konsep tematik di tiap kawasan tersebut sesuai dengan kompetensi di daerahnya. Pengelompokan industri sejenis, juga dapat menguntungkan perusahaan.
Saat ini terdapat 118 kawasan industri di Indonesia, dengan total luas lahan sekitar 51 ribu hektare. Sebanyak 81 kawasan dengan luas 36 ribu hektare berada di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hingga akhir 2020 nanti, Kemenperin menargetkan jumlahnya bertambah menjadi 156 kawasan industri dengan luas lahan 65 ribu hektare. (AT Network)
Discussion about this post