ASIATODAY.ID, JAKARTA – Moody’s Investors Service menilai bahwa konflik Rusia dan Ukraina potensi berimbas terhadap perekonomian Asia Pasifik.
Pasalnya, konflik itu telah memicu naiknya harga komoditas dan terhambatnya rantai pasok, khususnya bahan baku untuk manufaktur.
Menurut Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody’s Nishad Majmudar, konflik Rusia-Ukraina membawa risiko yang semakin besar terhadap ekonomi global.
Limpahan dampaknya tak terkecuali dapat menyentuh Asia Pasifik, terutama berupa risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi, dan ketidakpastian pasar keuangan.
“Meskipun hubungan ekonomi dan keuangan langsung yang relatif kecil dengan Rusia dan Ukraina, Asia Pasifik akan menghadapi risiko makroekonomi yang meningkat yang berasal dari lonjakan harga komoditas global dan akses terbatas ke logam industri. Perekonomian beberapa negara berisiko melambat karena konsolidasi utang,” jelas Nishad melalui keterangan resmi pada Rabu (16/3/2022).
Dikatakan, lebih dari setengah negara Asia Pasifik mencatatkan 10 persen ekspornya ke negara-negara utama di Uni Eropa.
Kinerja ekonomi di benua biru berpotensi melambat sebagai dampak dari sanksi internasional dan pembatasan impor energi Rusia, sehingga Asia Pasifik berpotensi terkena imbas.
Sejumlah negara menjatuhkan sanksi yang lebih berat terhadap Rusia, sehingga terdapat risiko tekanan perdagangan global dan akses ke bahan mentah.
“Jika akses Asia Pasifik terhadap bahan baku terkendala, produksi semikonduktor, elektronik, mobil, dan baterai kendaraan listrik dapat turut terhambat—terlebih harga nikel, paladium, dan aluminium sedang tinggi,” urainya.
Nishad menilai bahwa harga komoditas yang lebih tinggi akan melemahkan kondisi kredit sejumlah sektor usaha, seperti transportasi dan sektor lain yang sangat bergantung kepada bahan bakar.
Meskipun begitu, perusahaan eksplorasi dan produsen minyak dan gas (migas) serta produsen pertanian menurutnya akan diuntungkan.
“Volatilitas pasar dan tekanan depresiasi mata uang di tengah konflik bersenjata yang berkepanjangan akan melukai kualitas kredit perusahaan mapan serta perusahaan yang bergantung kepada pendanaan komersial mata uang asing dan kebutuhan pembiayaan kembali jangka pendek yang tinggi,” paparnya. (ATN)
Discussion about this post