ASIATODAY.ID, JAKARTA – Degradasi hutan di Indonesia kini menjadi masalah serius bagi keseimbangan ekologi. Pasalnya, butuh waktu lama untuk mengembalikan lahan-lahan yang sudah kritis yang mencapai 14 juta hektare.
“Dibutuhkan waktu selama 60 tahun untuk memulihkan kembali lahan kritis di Indonesia. Karena itu kesadaran dan peran penting masyarakat sangat diharapkan dalam menangani masalah ini,” kata Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Handoyo, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (25/9/2020).
Dalam webinar yang digelar Pusat Kajian Silvikultur Intensif Hutan Tropis Indonesia memperingati dies ke-57 Fakultas Kehutanan UGM, Handoyo mengakui menghadapi 14 juta hektare lahan kritis bukan persoalan mudah.
Menurut dia, dengan mendapat dukungan APBN dan APBD serta swasta, kemampuan pemulihan lahan kritis paling hanya mampu mencapai 232.250 hektare per tahun.
Handoyo menerangkan, lahan kritis terjadi akibat degradasi hutan berupa pengurangan status lahan secara fisik, kimia dan atau biologi sehingga menurunkan kapasitas produksi.
Fenomena itu terjadi karena ada beberapa sebab diantaranya berkurangnya lahan basah, perluasan lahan pertanian subsisten, perluasan lahan industri tidak ramah lingkungan, dan dinamika penggunaan lahan.
“Lahan kritis atau terdegradasi ini menjadikan lahan kurang berfungsi dengan baik untuk ditanami,” jelasnya.
Handoyo mengatakan, berkurangnya lahan basah seperti mangorove yang memiliki luas 3,4 juta hektare, sebanyak 1,8 juta hektare dalam kondisi kritis dan 1,6 kondisi baik. Sementara itu, kemampuan rehabilitasi lahan mangorove itu hanya 1.000 hektare per tahun, belum termasuk lahan basah yang gambut.
Demikian pula kondisi perluasan lahan pertanian subsisten yang mengakibatkan lahan pertanian meningkat 18,7 persen dan menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi.
Perluasan produksi minyak sawit, kayu lapis serta industri pulp-kertas, menurut dia juga turut menyumbang terjadinya degradasi lahan.
“Belum lagi adanya dinamika penggunaan lahan berupa perubahan fungsi lahan prima menjadi lahan kritis dan lahan rusak,” jelasnya.
Dikatakan, akibat degradasi lahan tersebut berbagai isu harus dihadapi di antaranya musim kemarau panjang atau kekeringan, minimnya peresapan air ke dalam tanah dan kekurangan sumber daya air.
Berbagai upaya yang saat ini sedang dilakukan mulai dari pembuatan hujan buatan, pembuatan sumur resapan, menghidupkan mata air dengan kegiatan penanaman di sekitar sumber mata air dan lainnya.
“Rencana aksi nasional berupa pengurangan degradasi lahan guna mendukung ketahanan pangan telah dilakukan dengan mendorong peningkatan kesadaran dan pendidikan terutama untuk kalangan generasi muda. Nanti kita akan evaluasi sejauhmana efektivitasnya,” imbuhnya. (ATN)
Discussion about this post