ASIATODAY.ID, JAKARTA – Asupan makanan tidak berimbang ditambah kurangnya aktivitas tubuh akibat pembatasan mobilitas selama pandemi COVID-19 bisa berdampak buruk bagi
kesehatan.
Konsumsi karbohidrat yang berlebihan ditambah gaya hidup sedentari alias ‘gerak minimal, makan maksimal’, bakal memicu obesitas yang berpotensi menjadi penyakit serius seperti diabetes, penyakit jantung, hingga kanker.
Penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) menemukan sedikitnya 2 juta kematian manusia di dunia setiap tahunnya disebabkan karena minimnya aktivitas tubuh. WHO pun mengingatkan, gaya hidup sedentari bisa jadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia.
Selain memaksakan tubuh untuk bergerak minimal 30 menit sehari, mengurangi konsumsi karbohidrat juga dianjurkan oleh para pakar kesehatan. Bila dikonsumsi secara berlebihan, nasi bisa menaikkan kadar gula dalam tubuh yang kemudian memicu tubuh menjadi lebih cepat lelah dan terus merasa lapar.
Bukan hanya itu, konsumsi nasi yang berlebihan juga berarti mendorong produksi tanaman padi semakin besar. Akibatnya, bisa semakin banyak alih fungsi lahan dari hutan menjadi sawah, yang dampaknya juga buruk bagi lingkungan hidup.
Lebih jauh, berikut manfaat mengurangi konsumsi nasi bagi tubuh juga lingkungan hidup:
1. Mendorong Keragaman Pangan untuk Mengurangi Risiko Penyakit Diabetes
Dari segi nutrisi, nasi putih adalah sumber karbohidrat yang juga mengandung zat gizi mikro dan protein. Namun, ketika asupannya berlebih bisa meningkatkan risiko penyakit seperti obesitas dan resistensi insulin atau diabetes.
Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan kasus diabetes terbanyak.
dr. Alvi Muldani, dokter dan relawan di Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) mengatakan faktor penyebab penyakit diabetes di Indonesia, di antaranya konsumsi kalori lebih besar dibandingkan
kebutuhan dan kurangnya aktivitas tubuh seperti mengkonsumsi nasi berlebih namun tidak diiringi aktivitas fisik yang cukup.
“Mengkonsumsi nasi berlebih bisa berkontribusi pada risiko diabetes. Selain itu, faktor lain yang juga berkontribusi pada diabetes seperti gaya hidup sedentari dan kegemukan. Dari penelitian didapatkan orang yang mengonsumsi nasi 450g sehari di Bandung dibandingkan dengan yang
mengkonsumsi 150g memiliki risiko 20% lebih besar untuk terkena diabetes. Indeks glikemik tinggi pada nasi menyebabkan kenaikan gula dalam darah lebih cepat sehingga memicu pengeluaran insulin, terlalu seringnya kadar insulin tubuh yang tinggi menyebabkan tubuh resisten terhadap insulin yang berakibat naiknya kadar gula dalam darah dikarenakan gula tidak diserap tubuh. Kebutuhan insulin yang semakin tinggi juga bisa membuat pankreas kelelahan sehingga lebih sedikit memproduksi insulin dan berakibat bertambah tingginya kadar gula dalam darah,” kata dr. Alvi, Senin (20/12/2021).
dr. Alvi Muldani juga mengatakan pembatasan kegiatan masyarakat selama pandemi membuat aktivitas fisik masyarakat menurun sehingga bisa meningkatkan risiko obesitas dan akhirnya meningkatkan risiko diabetes.
“Ada data yang menunjukkan bahwa makanan-makanan yang indeks glikemiknya tinggi cenderung lebih mudah cepat lelah karena gula dalam darah cepat naik tinggi. kemudian cepat turun lagi. Sebaliknya, kalau kita mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik lebih rendah atau sedang, justru tubuh tidak mudah lelah karena gula diedarkan ke pembuluh darah secara perlahan dan dipakai dengan lebih efisien” kata dr. Alvi.
dr. Alvi berpandangan Indonesia memiliki ragam karbohidrat yang lebih minim risiko terhadap diabetes selain nasi putih, yang umumnya dikonsumsi kebanyakan orang Indonesia.
Konsumsi nasi putih sebenarnya bagus saja selama dibatasi dan diselingi dengan jenis karbohidrat lain. Seperti misalnya nasi merah dengan serat lebih baik, memiliki indeks glikemik lebih rendah dari nasi putih. Selain jenis beras, beberapa sumber karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dan mengandung banyak serat antara lain sagu, kentang utuh, kacang-kacangan, dan sayur-mayur.
2. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dan Kerusakan Alam
Hal yang menarik, ternyata anjuran mengurangi konsumsi nasi untuk kesehatan ini, sejalan dengan anjuran untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Mulia Nurhasan, Food and Nutrition Scientist dari CIFOR (Center for International Forestry Research) mendukung anjuran dr. Alvi agar masyarakat mengurangi konsumsi nasi.
Mulia menyampaikan bahwa rekomendasi dari studi terbaru dalam The American Journal of Clinical Nutrition (2021) yang mempelajari pola konsumsi yang berkelanjutan di Indonesia adalah
anjuran mengurangi konsumsi nasi bagi masyarakat.
“Kita sering tidak kepikiran, bahwa pola konsumsi makanan kita memiliki dampak pada lingkungan, seperti misalnya konsumsi nasi yang sehari tiga kali, sekali makan sampai sepiring penuh nasi. Jika semua orang Indonesia punya pola makan seperti ini, negara memerlukan produksi beras yang semakin banyak. Nah, sayangnya, produksi beras menghasilkan gas rumah kaca yang cukup tinggi. Peningkatan gas rumah kaca yang terlalu tinggi telah menyebabkan perubahan iklim. Apalagi banyak lahan sawah sudah mulai menyusut, menanam padi di lahan-lahan baru yang tidak cocok untuk tanaman padi bisa menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang besar. Akhirnya konsumsi nasi kita yang tinggi, turut memperburuk kerusakan alam dan menciptakan masalah sosial,” jelas Mulia.
Komentar Mulia rupanya merujuk pada informasi dalam Our World in Data (Juni 2021). Menurut website tersebut, pada tahun 2020, dunia mengeluarkan sekitar 34.81 miliar ton gas CO2, 589.50 juta ton diantaranya dari Indonesia. Gas CO2 adalah gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia.
Website tersebut juga merilis hasil penelitian bahwa produksi beras per kilogramnya menghasilkan 4,45 kilogram ton gas rumah kaca. Nilai ini termasuk yang paling besar di antara tumbuhan pangan lainnya. Umbi-umbian dan singkong, yang juga pangan pokok, menghasilkan jauh lebih kecil gas rumah kaca dari pada beras per kilogramnya. Singkong hanya menghasilkan sekitar 1,32 kilogram gas rumah kaca.
Singkong dan umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat utama di beberapa bagian Indonesia. Namun sayang,
konsumsinya sebagai pangan pokok menurun. Selain singkong dan umbi-umbian, sumber karbohidrat lain yang juga tumbuh di Indonesia juga menghasilkan gas rumah kaca jauh lebih kecil dari beras, di antaranya, kentang sekitar 0,46 kilogram, jagung sekitar 1,7 kilogram, dan pisang sekitar 0,86 kilogram.
Namun faktanya pemerintah akan membuka lahan baru melalui program food estate salah satunya di Kalimantan dan Papua. Di wilayah Kalimantan Tengah, food estate dibangun pada lahan bekas pengembangan lahan gambut (PLG) yaitu di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas dengan luas 30,000 hektare.
Menurut data WALHI, di Papua akan dialokasikan lahan food estate antara lain, sekitar 1,01 juta hektar di Merauke, 400,000 hektar di Mappi, 32,000 hektar di Boven Digoel, dan 4,650 hektar di Yahukimo yang mendapat kritik dari para aktivis lingkungan karena mengancam keragaman hayati dan hak-hak masyarakat adat.
“Lahan pertanian produksi beras terbukti menghasilkan emisi methane (CH4) cukup tinggi, sehingga berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca. Selain itu, berdasarkan penelitian, produksi beras dalam skala massal dan intensif juga cenderung menciptakan ketahanan pangan yang rentan terhadap perubahan lingkungan, seperti serangan hama dan bahkan perubahan iklim” kata Mulia, yang merujuk pada publikasi terbarunya.
Studi yang dilakukan CIFOR pada Juni 2021 bertajuk “Mengaitkan Pangan, Gizi, dan Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Perspektif mengenai Sistem Pangan Berkelanjutan” menunjukkan
bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman hayati tinggi.
“Sayangnya, konsumsi makanan di masyarakat saat ini malah makin berkurang keragamannya. Cita-cita mencapai gizi seimbang dari pangan yang beragam jadi sulit dicapai karena makanan kita hanya itu-itu saja,” tutur Mulia.
“Keseimbangan makanan bisa tercermin pada keragaman bahan pangan yang tersaji pada isi piring kita. Ketika pilihan makanan di piring kita tidak seimbang, maka kita perlu ingat bahwa isi piring ini berasal dari ekosistem di sekitar kita. Dan ketidakseimbangan isi piring kita, akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem. Hal ini karena setiap makanan yang kita tempatkan di piring kita, berasal dari sebuah proses produksi dan distribusi bahan pangan yang punya dampak lingkungan dan sosial, termasuk di antaranya, menghasilkan emisi karbon.” Tutur Mulia.
Mulia menyarankan, berusaha mengkonsumsi pangan yang lestari, atau berkelanjutan (sustainable diet) menjadi penting agar setiap orang bisa berkontribusi langsung pada keberlanjutan sistem pangan, termasuk mengurangi efek rumah kaca dan bahkan perampasan hak-hak masyarakat lokal.
Mengurangi makan nasi, dan menggantikan porsi yang dikurangi
dengan makanan tinggi asupan zat gizi mikro, seperti berbagai jenis ikan, dan berbagai macam sayuran berwarna-warni, bukan hanya baik untuk kesehatan, tapi juga untuk kelestarian alam.
Mulia menutup penjelasannya dengan penekanan, “kita kan gak mau ya, pilihan makanan kita ikut menjadi alasan pembukaan lahan yang menyebabkan buruknya perubahan iklim dan terusirnya masyarakat adat dari tanah leluhur mereka”. (AT Network)
Discussion about this post