ASIATODAY. ID, JAKARTA – Pengamat Pertambangan Budi Santoso mengkritik rencana pemerintah yang akan mempercepat larangan ekspor ore nikel sebelum tahun 2022. Bila dilaksanakan kebijakan ini berarti menganulir keputusan pemerintah sendiri.
“Larangan ekspor yang dipercepat memberi kesan pemerintah tidak konsisten dengan kebijakannya,” kata Budi dalam pernyataannya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (14/8/2019)
“Bila ini terjadi akan berdampak buruk bagi kepastian usaha di pertambangan dan kesan negatif, pemerintah tunduk oleh kelompok tertentu,” tambahnya.
Pernyataan keras Budi ini sebagai respons atas pernyataan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang menegaskan akan segera merevisi peraturan pemerintah sehingga larangan ekspor ore nikel dapat dipercepat.
Dalam PP 01/2019 disebutkan bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Pengusaha tambang menolak kebijakan itu karena bila keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter.
Sebelumnya Luhut menegaskan, pemerintah akan mempercepat pemberlakuan aturan larangan ekspor ore nikel kadar rendah yang sebelumnya ditetapkan tahun 2022. Luhut juga berjanji akan segera mengumumkan percepatan larangan tersebut.
“Kita akan percepat, tunggu saja kapan diumumkan. Intinya, kita akan hilirisasi semua. Kita akan percepat,” kata Luhut di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/8/2019).
Menurut Menko Luhut, percepatan larangan ekspor nikel kadar rendah bisa dilakukan karena bisa diserap oleh pabrik pemurnian atau smelter di dalam negeri.
“Kita sudah perhitungkan, bisa diserap di dalam negeri. Sangat bisa dan tidak ada masalah. Kita sangguplah,” jelasnya.
Menurut Budi, konsep hilirisasi memang harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Nilai tambah harus meningkat sehingga efek ikutannya dapat dirasakan rakyat dan ekonomi Indonesia.
“Pemerintah harus juga memikirkan bagaimana multiplier tersebut diwujudkan, jangan sampai yang menikmati asing yang akhirnya sumberdaya alam terkuras tapi ekonomi Indonesia tidak berajak naik karena nilai tambah tadi direpatriasi ke luar negeri,” ujarnya.
Menteri ESDM, kata Budi, seharusnya juga melihat perpektif makroekonomi Indonesia. Dalam jangka menengah (RPJM 2020-2024) devisa yang didapat dari ekspor bisa-bisa neraca perdagangan bermasalah.
“Freeport saja dalam jangka pendek ekspornya turun 50%, artinya pendapatan devisa USD2 miliar belum ada gantinya dan ditambah larangan ekspor mineral,” ujarnya.
Di atas kertas, kata Budi, Kementerian ESDM seolah-olah menjamin 57 smelter akan berproduksi di tahun 2022. Tetapi secara parktis diragukan.
“Dan selama ini 57 calon smelter tersebut menikmati ekspor ore. Kalau ini di berhentikan, untuk nutup defisit perdagangan darimana?” kata Budi.
,’;\;\’\’
Discussion about this post