ASIATODAY.ID, BEIRUT – Rakyat Lebanon dan Irak menggelar aksi unjuk rasa memprotes kondisi mata uang lokal yang terus merosot.
Di Lebanon, para demonstran memblokir jalan-jalan di dekat Bank Sentral Lebanon di Beirut, ibu kota Lebanon pada Rabu (25/1/2023), setelah mata uang lokal jatuh ke level terendah baru di angka 57.200 pound Lebanon per satu dolar AS.
Para pengunjuk rasa meneriakkan berbagai slogan dan memegang poster yang mengecam gubernur bank sentral atas surat edaran yang dia keluarkan selama beberapa tahun terakhir, yang telah menimbulkan kerugian besar terhadap deposito masyarakat di bank-bank komersial.
“Hari ini, khususnya dalam aksi unjuk rasa terhadap surat edaran tidak adil yang dikeluarkan oleh bank sentral, oleh gubernur bank sentral Riad Salameh, surat edaran ini diimplementasikan dalam bentuk kontrol modal meskipun itu ilegal. Ini menyebabkan potongan besar pada deposito dan hari ini kami datang untuk memprotes itu dan menentang gagasan Sayrafa (platform penukaran mata uang) yang diadopsi oleh pemerintah dengan dalih mengendalikan nilai tukar. Hasilnya, kita melihat nilai tukar yang tidak terkendali dan nilai dolar AS telah mencapai 55.000 pound Lebanon hari ini. Orang-orang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pembelian atau apa pun,” kata Ibrahim Abdallah, salah satu pengunjuk rasa, kepada Xinhua.
Lebanon mengalami krisis keuangan yang berkepanjangan, dan negara itu sejauh ini gagal menerapkan reformasi struktural untuk memulai proses pemulihan.
Di Irak, ratusan warga berunjuk rasa di dekat Bank Sentral Irak (Central Bank of Iraq/CBI) di pusat kota Baghdad pada Rabu (25/1/2023) untuk memprotes devaluasi dinar Irak baru-baru ini dan menuntut pemerintah mengambil tindakan guna menstabilkan mata uang tersebut.
Menurut sebuah sumber di Kementerian Dalam Negeri Irak, para pengunjuk rasa berkumpul di luar kompleks CBI di tengah penjagaan pihak keamanan yang ketat saat polisi anti huru-hara menutup area tersebut.
Banyak pengunjuk rasa membawa bendera dan spanduk, yang beberapa di antaranya bertuliskan,
“Cukup sudah dengan janji-janji. Turunkan nilai dolar,” dan lainnya bertuliskan, “Harga yang tinggi membunuh kami.”
Sebelumnya pada pekan ini, Perdana Menteri Irak Mohammed Shia’ al-Sudani menyampaikan bahwa “pemerintah terus memberikan dukungannya kepada Bank Sentral Irak untuk mengembalikan nilai tukar dolar ke nilai tukar resmi. Kami telah mengambil beberapa keputusan tegas untuk mendukung dan menstabilkan dinar Irak, dan kami memberikan peringatan kepada mereka yang berupaya mengeksploitasi krisis ini.”
Al-Sudani menuturkan, “(Nilai) dolar naik bukanlah imbas dari keputusan pemerintah, melainkan karena adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kondisi sementara ini dan gejolak di pasar.”
Pada Senin (23/1), al-Sudani menerima pengunduran diri gubernur Bank Sentral Irak Mustafa Ghalib Mukheef menyusul devaluasi dinar Irak baru-baru ini. Mukheef, yang telah menjabat sejak 2020, digantikan oleh Muhsen al-Allaq sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur bank sentral.
Baru-baru ini, nilai tukar 1 dolar AS melonjak menjadi lebih dari 1.600 dinar Irak di pasar lokal, sementara nilai tukar resminya di CBI adalah 1.450 dinar Irak. Inflasi dolar itu menyebabkan kenaikan harga komoditas. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post