ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dinamika global masih diterpa ketidakpastian. Belum usai konflik antara Rusia-Ukraina. Dunia saat ini mengalami turbulensi kembali. Serangan Hamas ke Israel memicu ketegangan di wilayah Timur Tengah. Pasokan komoditas kembali tersendat. Naiknya harga minyak memberi dampak ke berbagai negara.
Di saat negara-negara sedang mengalami permasalahan inflasi, ketegangan politik di kawasan memicu permasalahan lainnya. Data International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,9% pada 2024 dari perkiraan sebelumnya di angka 3%.
Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Bambang Hirawan mengungkapkan bahwa negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak mentah, sehingga sudah tentu perang Hamas-Israel akan memicu ketidakstabilan mengganggu pasokan energi dan pangan yang berujung naiknya harga minyak dan komoditi.
“Sektor energi dan pangan ini adalah faktor pemicu inflasi secara global. Padahal sebelum ada perang tersebut, kita berpikir bahwa pressure dari inflasi global sudah mulai menurun, namun ternyata kita dikagetkan oleh perang Hamas dan Israel. Ini seperti kembali pada titik sebelumnya,” katanya dalam diskusi Tumbuh Makna, bertema ‘Menakar Efek Gejolak Timur Tengah Terhadap Ekonomi Indonesia,’ yang diselenggarakan di Casa Living Senopati, Jakarta baru-baru ini.
Fajar menambahkan ketidakpastian global juga dipicu perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan China. Saat ini Amerika Serikat berada pada tekanan inflasi, sehingga memaksa The Fed harus menahan daya beli masyarakat. Namun pada sisi lain mereka juga harus bisa menjaga jumlah uang yang beredar. Sementara China saat ini sedang mengalami kisruh Evergrande yang mengalami permasalahan keuangan.
“IMF melaporkan bahwa pada triwulan ketiga 2023, ada semacam pesimisme dikarenakan pressure inflasi tetap ada dan pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan atau bahkan menurun akibat ketidakpastian global. Kita berharap ketegangan Amerika dan China pun mereda sehingga ada normalisasi yang dapat membuat iklim ekonomi kembali membaik,” ujarnya.
Meski begitu, di tingkat nasional, ia optimis bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 5%. Apalagi tahun politik akan mendorong belanja masyarakat. Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan sektor komoditas dan industri manufaktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Perlu diketahui, 50 % dari pertumbuhan ekonomi itu berasal dari konsumsi rumah tangga, sisanya dari investasi, kemudian ekspor dan impor. Untuk itu, kita harus menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga komoditas,” ujarnya.
Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami, memiliki penilaian serupa bahwa dinamika yang terjadi justru membuahkan peluang. Salah satunya pada sektor investasi.
Menurutnya, para investor pasti melihat efek global yang saat ini terjadi. Contohnya pada aset kelas Fixed Income, yang disebut paling sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, yang justru bisa menghadirkan kesempatan bagi pelaku investasi.
“Tingkat US treasury yield kemungkinan sudah hampir mendekati puncak atas siklus pengetatan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral AS. Sebagai contoh saat ini tingkat imbal hasil US treasury tenor 2 tahun berada di level yang lebih tinggi dari pada imbal hasil US treasury dengan dengan tenor yang lebih panjang yakni 10 tahun dan 30 tahun. Di minggu lalu US treasury yield 2 tahun telah berada di atas kisaran 5,1% sementara yang 10 tahun masih sedikit di bawah 5 % yakni sekitar 4,9%, dimana kondisi tersebut kita kenal dengan istilah Inverted Yield Curve,” tambahnya.
Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Benny, juga merupakan salah satu indikasi awal akan terjadinya resesi, walaupun resesi yang ada kemungkinan cenderung ringan. Bahkan terdapat kemungkinan AS bisa menghindari resesi dan melakukan soft landing.
“Terlepas dari terjadinya resesi maupun soft landing, biasanya ekonomi cenderung akan cooling down yang biasanya berdampak positif terhadap kelas aset pendapatan tetap dimana tingkat imbal hasil akan cenderung menurun,” tuturnya.
Menurut Benny, kelas aset ekuitas ke depan akan cukup menantang di tengah kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang cukup tinggi saat ini sehingga membuat ekspektasi investor atas risk premium dari kelas aset ekuitas akan lebih tinggi.
“Antisipasi yang sama juga berlaku di pasar domestik kita, apalagi dengan melihat tingkat imbal hasil terakhir SBN tenor 10 tahun telah mencapai 7 %. Ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam 12 bulan ke depan, kelas aset ekuitas diperkirakan laba per sahamnya atau earning per share (EPS) dari IHSG akan tumbuh 5 % hingga 6% dan bisa diperdagangkan pada price earning (PE) 14,6 kali.
“Maka IHSG, menurut kami, masih sangat berpeluang untuk mencapai level 7700 hingga akhir kuartal III 2024. Dan pada akhir tahun ini, berdasarkan riset yang kami lakukan, kami telah melihat bahwa ada kecenderungan IHSG akan tumbuh terbatas, sehingga kami menyarankan investor perlu memiliki time horizon yang lebih panjang,” imbuhnya.
Namun investor harus cermat dalam melakukan investasi. Salah satunya untuk melek terhadap literasi keuangan dan mengedepankan data yang valid.
“Pertama, mendiversifikasi ke lebih satu instrumen per kelas aset. Kedua, investor disarankan memiliki time horizon yang lebih panjang dalam menganalisis dengan data yang tepat. Ketiga, berinvestasi sesuai dengan profil risiko masing-masing,” tutupnya. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post