ASIATODAY.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan rencana pemerintah mempercepat aturan larangan ekspor bijih nikel bertujuan untuk menarik investasi ke dalam negeri.
Menurut Luhut, hal itu dilakukan untuk memanfaatkan peluang ditengah momentum perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China.
“Seperti yang saya jelaskan, dalam keadaan perang dagang seperti sekarang, kita perlu tarik investor sebanyak mungkin,” jelasnya, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Meski demikian, Luhut masih enggan menjelaskan secara rinci mengenai tahun kapan dimajukannya larangan ekspor bijih nikel, karena kalau berdasarkan ketentuan larangan itu seharusnya baru akan mulai dilakukan pada 2022.
“Nanti kita lihat saja keputusan Presiden dalam beberapa waktu ke depan,” katanya.
Luhut menjelaskan selama ini Indonesia tidak mendapatkan nilai tambah atas pengelolaan sumber daya alam karena investor yang datang hanya menggali sumber daya alam kemudian mengekspornya.
Namun, ia menegaskan hal itu tidak bisa lagi terjadi. Indonesia, disebutnya harus mendapatkan nilai tambah atas pengelolaan sumber daya alam.
“Bijih nikel ini 36 dolar AS, kemudian ferro nikel sampai jadi metal itu bisa 100 kali lipat (nilainya). Ini akan jadi bahan ‘stainless steel’. Dan 2021 kita akan jadi produsen ‘stainless steel’ terbesar di Indonesia. Dampaknya terhadap ‘current account deficit’ kita akan sangat luar biasa,” paparnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM akan melarang sepenuhnya ekspor bijih mineral mulai 2022. Hal itu dilakukan untuk mendorong hilirisasi mineral dalam negeri.
Larangan ekspor mineral mentah juga telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana dalam Pasal 103 ayat (1) UU Minerba, pengolahan dan pemurnian hasil tambang wajib dilakukan di dalam negeri. Namun, ekspor ore atau bijih masih dibolehkan hingga 2021.
Wacana pelarangan ekspor ore nikel ini sebelumnya sudah berhembus kencang. Menteri ESDM akan melarang penuh ekspor ore nikel dan bauksit. Meski sebelumnya Kementerian ESDM sudah mengeluarkan rekomendasi untuk ekpsor nikel dan bauksit.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, pada tahun 2018 lalu realisasi ekspor nikel sebesar 20,09 juta ton dan baukit 8,70 ton. Sedangkan rencana ekspor nikel pada tahun ini sebesar 15,07 juta dan bauksit sebanyak 10,97 juta.
Dalam perencanaan Kementerian ESDM, akan ada 40 smelter baru hingga tahun 2022. Dari tambahan smelter tersebut, 21 di antaranya merupakan smelter nikel dan bauksit berjumlah 6 smelter.
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, pihaknya sudah diajak berdialog dengan pemerintah dalam rencana penerbitan aturan baru untuk mempercepat penghentian ekspor bijih nikel itu.
Namun ia enggan membeberkan isi dari aturan yang pernah dibicarakan. “Kami disampaikan sedang dibuat aturannya. Pointnya revisi, stop ekspor,” terangnya, Minggu (11/8/2019).
Meidy memandang langkah pemerintah ini menimbulkan pertanyaan besar.
“Sebaiknya pemerintah harus konsisten dengan PP 01/2019, bahwa pemberlakuan penghentian ekspor baru bisa dilakukan pada tahun 2022. Sebab, jika keputusan pemberhentian ekspor dikeluarkan dalam waktu cepat, maka akan banyak kerugian yang dialami penambang maupun pembuat smelter,” jelasnya.
Dia mengatakan, akan ada banyak tambang nikel yang tutup karena tidak bisa diekspor, berimbas pada harga yang tidak balancing.
“Harga ekspor dan harga lokal kan mati. Nanti terjadi kartel, ada yang menguasai harga dan kita tidak sanggup. Terlebih lagi, banyak yang tengah mengembangkan smelter, namun tidak ada pemasukan dana melalui penjualan bijih nikel yang diekspor. Alhasil, pembangunannya mangkrak,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post