ASIATODAY.ID, JAKARTA – Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) kian mewaspadai naiknya permukaan air Laut China Selatan sebagai dampak kenaikan suhu dan perubahan iklim global.
Disamping soal konflik teritorial, perubahan iklim dan kenaikan suhu ini menjadi ancaman serius karena berpotensi menciptakan bencana yang lebih luas di kawasan. Karena itu dibutuhkan langkah mitigasi secara kolektif.
Gagasan bersama ini mencuat dalam forum Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea selama dua hari yang digagas oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia (RI) pada tanggal 13-14 Oktober 2021.
Forum itu diikuti 67 peserta dari 11 participating parties di kawasan Laut China Selatan, diantaranya Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Thailand, China, Taiwan, dan Viet Nam.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar, mengungkapkan bahwa sangat penting dibangun kolaborasi di antara participating parties untuk mengelola tantangan bersama di kawasan Laut China Selatan, seperti perubahan iklim dan dampak kenaikan permukaan air laut.
Hal serupa juga ditekankan oleh Prof. Dr. Muh Aris Marfai, M.Sc., Kepala Badan Informasi Geospasial RI.
“Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di Laut China Selatan dibutuhkan sinergi antar negara di kawasan. Isu kenaikan permukaan air karena peningkatan suhu global perlu dihadapi bersama dengan berbagi ilmu dan pengalaman untuk melakukan mitigasi dampak kenaikan muka laut terhadap masyarakat di pesisir,” ujarnya.
Forum Lokakarya ini merupakan yang ke-30 sejak pertama kali digelar pada tahun 1990. Dalam kegiatan kali ini, ditampilkan perjalanan Lokakarya selama 30 tahun yang telah bekerjasama di bidang perubahan iklim dan lingkungan hidup, ilmu pengatahuan dan teknologi, serta kerja sama ekonomi dan pembangunan.
Lokakarya didahului oleh Pertemuan Kelompok Kerja yang membahas studi tentang gelombang dan kenaikan permukaan laut dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir di Laut China Selatan.
Selama 2 hari para peserta saling berbagi pengalaman dan membahas berbagai isu yang menjadi kepentingan bersama, antara lain dampak, adaptasi dan kebijakan dalam perubahan iklim, termasuk dampak kenaikan permukaan laut terhadap masyarakat di pesisir di wilayah Laut China Selatan.
Selain itu, dibahas isu-isu lain seperti ekonomi biru dan sampah laut di Laut China Selatan dan dorongan kerjasama minyak nabati berkesinambungan di Laut China Selatan.
Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea pertama kali diselenggarakan pada tanggal 22-24 Januari 1990 di Bali. Sejak saat itu, lokakarya, yang tidak hanya melibatkan pemerintah tetapi juga swasta dan akademisi (1,5 track), secara konsisten menjadi wadah dialog dan kerjasama di berbagai proyek sebagai sarana membangun sikap saling mengerti untuk mencapai tujuan bersama di kawasan Laut China Selatan. (ATN)
Discussion about this post