Oleh: M. Ridha Saleh
Wakil Ketua Komnas HAM 2007-2012
Ecocide adalah istilah yang digunakan untuk mengadaptasikan kerusakan lingkungan hidup atau kehancuran ekologi kedalam suatu istilah hukum demi mendaptkan legitimasi politik dari intitusi atau otoritas pidana internasional atau pengadilan pidana internasional (ICC). Kejahatan Ecocide sendiri frasa yang berkembang dari pandangan dan perdebatan tentang paradigma yang melatar belakangi lahirnya pandangan perang ekologi.
Namun demikian beberapa tahun terakhir, istilah ini lebih sering digunakan oleh para ahli hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melawan pengrusakan lingkungan hidup yang menghawatirkan eksistensi bumi dan esensi kehidupan manusia.
Ecocide terus diperjuangkan karena terbatasnya norma dan narasi hukum lingkungan hidup dalam menjangkau moderinitas daya rusak pemusnahan ekologi. Kuatnya kontrol institusi global dan korporasi trans nasional terhadap petinggi negara dan pihak pengadilan juga menjadi faktor tidak berdayanya penegakan hukum atas kejahatan tersebut, itulah yang menyebabkan narasi ecocide lebih banyak ditemukan sebagai suatu definisi politik hukum daripada ekologi politik.
Undang-Undang (UU) Nomor 26/2000 adalah undang-undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Kejahatan berat HAM diatur di dalam UU 26/2000 terdiri dari Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crime against humanity) dan Genosida (genocide).
Sementara Kejahatan Pidana Internasional dalam Statuta Roma terdiri dari Kejahatan Perang (war crimes), Kejahatan Agresi (crime of aggression), Genosida (genocide), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime agains humanity).
Perluasan Genosida
Pada tahun 1973, Richard A. Falk professor dari Princeton University dimandatkan menyusun kajian dan draft konvensi tentang kejahatan lingkungan hidup dan pemusnahan ekologi sebagai perluasan dari Konvensi Genosida yang diakibatkan oleh aktivitas destruktif seperti perang atau aktivitas ekonomi Negara, Institusi privat (korporasi) dan kelompok organisasi.
Draft Konvensi selesai di susun dan diajukan ke Komisi Hukum Internasional (international law commission) PBB pada tahun yang sama. Draft konvensi itu berjudul Environmental Warfare and Ecocide: Fact, Apprasial and Proposal, terdiri dari 9 pasal dan 2 protokol lampiran. Darft konvensi tersebut kemudian dikenal sebagai Konvensi Ecocide.
Konvensi Ecocide bertujuan untuk melindungi bumi dan semua spesies untuk melawan tindakan perusakan lingkungan dan pemusnahan ekologis. Seperti halnya kejahatan genosida, darft konvensi kejahatan ecocide tidak dapat berjalan dengan mulus, banyak negara anggota, termasuk para akademisi dan korporasi yang resisten terhadap kehadiran draft tersebut.
Meskipun tidak pernah diadopsi, belakangan menjadi pertimbangan oleh Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok Minoritas ketika mempersiapkan studi untuk Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengenai keefektifan Konvensi Genosida.
Sub-komisi diminta mempertimbangkan penambahan ecocide dan memperkenalkan kembali budaya genosida (culture genocide) ke dalam perluasan Konvensi Genoside.
Pelapor Khusus Mr Nicode`me Ruhashyankiko menyiapkan penelitian dan menyusun draft tambahan, hasilnya diterbitkan pada tahun 1978, terhadap draft tersebut, banyak anggota sub-komisi mendukung bahwa instrumen tambahan tentang ecocide untuk segera diadopsi.
Bahkan Komisi Hukum Internasional mengusulkan agar ecocide sebagai kejahatan internasional penting untuk dipertimbangkan sebagai refleksi dari kebutuhan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta mencegah kolonialisme dan agresi ekonomi.
Konferensi diplomatik PBB di Roma pada 1998, Statuta Roma disepakati dan Mahkamah Pidana Internasional dibentuk (ICC), tanpa kejahatan ecocide sebagai kejahatan terhadap perdamaain dan keamanan manusia tak dapat disepakati sebagai kejahatan berdiri sendiri, sebagaimana empat kejahatan internasional lain.
Amandemen Statuta Roma
Program “The Value of Land” yang diprakarsai organisasi Economics of Land Degradation Initiative (ELDI) merilis laporan tentang kerusakan lingkungan yang dialami Bumi saat ini.
Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kompotisi dan ekploitasi sejak tahun 2000 telah menyebabkan hilangnya 75 persen nilai sosial dan ekonomis alam yang sejatinya dapat dimanfaatkan manusia.
Nilai sosial dan ekonomis alam yang hilang itu diperkirakan bisa mencapai Rp1 miliar per satu kilometer persegi. Satu per tiga dari kawasan di Bumi kini rentan terhadap kerusakan lingkungan. Lebih parah, satu per tiga kawasan Afrika kini terancam berubah menjadi gurun tandus.
Untuk mencegah semua itu, Pada April 2011, Polly Higgins memperkenalkan kembali draft proposal tentang kejahatan Ecocide ke Komisi Hukum PBB. Proposal ini didedikasikan untuk mengamandemen Statuta Roma agar memasukkan ecocide sebagai kejahatan kelima terhadap perdamaian umat manusia, sebagaimana telah diusulkan sebelumnya.
Jika kejahatan ecocide masuk dalam Statuta Roma, maka kasus kejahatan ecocide dapat didengar di Pengadilan Kriminal Internasional dan membuat para perusak lingkungan baik legal maupun illegal menghentikan rencananya.
Higgins mendefinisikan ecocide sebagai “perusakan yang luas, kerusakan atau hilangnya ekosistem dari suatu wilayah tertentu, baik oleh agen manusia atau oleh sebab lain, sedemikian rupa hingga kenikmatan damai oleh penduduk wilayah itu telah sangat berkurang.
September 2016, Dokumen kebijakan jaksa Mahkamah Pidana Internasional, menegaskan bahwa International Criminal Court (ICC) akan memprioritaskan kejahatan berdampak pada: _“Pengrusakan lingkungan hidup (destruction of the environment).”, “ekploitasi terhadap sumber daya alam (exploitation of natural resources)” dan “perampasan tanah secara illegal (illegal dispossession of land).” Sekalipun dokumen tersebut belum untuk memperluas yurisdiksi ICC, melainkan memberi penafsiran atau penilaian atas ecocide.
Peluang untuk terus mendorong kejahatan ecocide juga mendapatkan dukungan politik dari sejumlah negara anggota di wilayah kepulauan seperti Vanuatu, maldif, viji dan beberapa dari Amerika Latin.
Amandemen UU 26/2000
Dalam catatan hukum Uni Eropa yang diunggah oleh environmental justice atlas (mapping ecocide), ada 81 aktivitas korporasi dan negara yang masuk dalam katagori kejahatan Cultur Ecocide, Potential Ecocide dan Ecocide di seluruh dunia.
Di Indonesia terdapat dua titik, berada di Papua. Dalam catatan hukum uni Eropa keduanya berstatus Potential Ecocide.
Kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM makin parah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Eksploitasi sumberdaya alam terus berlangsung tanpa memperhatikan norma-norma keadilan lingkungan, konflik struktural, pelanggaran HAM, dan kemiskinan.
Saat ini Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan UU Minerba dan terus membahas RUU Cipta Kerja, padahal publik jamak berpendapat Undang-undang dan RUU itu merupakan liberalisasi tanah dan sumber daya alam.
Pada Agustus 2012, sidang paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah kejahatan ecocide. Karena memenuhi unsur kategori ecocide yaitu berdampak sangat panjang, luas dan tidak dapat dipulihkan.
Namun kejahatan tersebut tidak dapat diputus sebagai pelanggran HAM berat berdasrkan UU 26/2000, karena undang-undang tersebut hanya mengakui dua kejahatan beret HAM dari empat kejahatan yang disebut dalam Statuta Roma.
Komnas HAM kemudian memutuskan bahwa kejahatan Lapindo bisa ditetapkan sebagai kejahatan berat HAM berdasarkan undang-undang, jika ecocide telah menjadi bahagian kejahatan tambahan dalam UU 26/2000.
Langkah yang diambil Komnas HAM saat itu adalah segera mengajukan draft amandemen UU 26/2000 dengan memasukan ecocide sebagai bahagian kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun hingga saat ini, Komnas HAM belum juga mengajukan draft amandemen tersebut ke pada DPR RI. Sagnasi yang terjadi tentu mengecewakan publik khususnya bagi korban lumpur Lapindo, namun demikian lembaga ini telah meletakkan jejak menyuarakan ecocide sebagai kejahatan kemanusiaan untuk ditindak lanjuti secara hukum. (*)
Discussion about this post