ASIATODAY.ID, BERLIN – Pemerintah Indonesia turut berbagi pengalaman dalam pembangunan ramah lingkungan dalam Berlin Energy Transition Dialogue di Jerman, Rabu (30/3/2022).
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Republik Indonesia Suahasil Nazara yang hadir dalam dialog itu memaparkan bahwa penggunaan energi terbarukan bukan merupakan suatu pilihan, namun harus dilakukan di masa depan. Hal ini merupakan bagian dari upaya penciptaan net zero emission, dimana penggunaan energi harus mulai bergeser dari energi yang berbasis fosil menuju energi baru terbarukan, serta sebagai langkah pembangunan yang ramah lingkungan.
Pemerintah Indonesia mendorong pembangunan energi baru terbarukan melalui berbagai instrument, salah satunya adalah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Komitmen tersebut dituangkan melalui anggaran negara baik pada sisi belanja dan pembiayaan.
“Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menunjukkan komitmennya pada anggaran negara, dimana pada sisi pengeluaran untuk negara seperti Indonesia yaitu melalui pengurangan subsidi terhadap energi yang berbasis fosil,” jelas Wamenkeu.
Menurut Wamenkeu, Indonesia telah melakukan pengurangan alokasi anggaran subsidi terhadap energi berbasis fosil ini selama lima tahun terakhir. Meskipun terdapat volatilitas harga minyak dunia, namun Wamenkeu menegaskan bahwa hal ini tidak mengurangi komitmen Indonesia terhadap pengurangan alokasi subsidi ini.
Hal lain yang dilakukan pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan energi terbarukan adalah climate budget tagging (penandaan anggaran perubahan ikilm) yang ada pada APBN.
“Sistem penandaan anggaran perubahan iklim merupakan suatu upaya untuk mendukung pengelolaan anggaran perubahan iklim agar lebih terukur,” jelasnya.
Sistem ini mampu melacak alokasi anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta menyajikan data kegiatan, output, dan besaran anggaran yang dialokasikan Pemerintah.
“Dalam lima tahun terakhir, kami menemukan bahwa hanya sekitar 34% dari kebutuhan pendanaan Indonesia yang dapat dialokasikan oleh anggaran negara (melalui climate budget tagging). Jadi, kita perlu mendorong partisipasi swasta,” lanjut Wamenkeu.
Selain dari sisi belanja negara, Pemerintah menunjukkan komitmen terhadap penanganan perubahan iklim adalah melalui green financing.
Wamenkeu mengatakan bahwa Indonesia adalah negara pertama yang menerbitkan green sukuk (Surat Berharga Syariah Negara Hijau). Green sukuk ini telah diterbitkan sejak tahun 2018, dan menurutnya green sukuk sangat sesuai dengan konsep pembiayaan hijau.
Green sukuk juga terkait erat dengan taksonomi hijau yang telah diluncurkan Presiden Jokowi awal tahun ini. Taksonomi hijau mengklasifikasikan aktivitas ekonomi untuk mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Tujuan strategis dari taksonomi hijau adalah untuk mendorong inovasi penciptaan produk, proyek, inisiatif hijau sesuai dengan standar Pemerintah.
“Peran Pemerintah selanjutnya adalah menyediakan platform. Bagi negara seperti Indonesia, sangat penting untuk menyediakan platform yang tidak hanya menyediakan ruang bagi anggaran negara menjadi katalis tetapi juga supaya anggaran negara itu dapat mengkatalisasi dan mengundang partisipasi swasta. Kami sekarang mencoba untuk membangun platform di negara kami yaitu energy transition mechanism (ETM),” tambah Wamenkeu.
Wamenkeu mengatakan Indonesia meluncurkan ETM ini bersama Asian Development Bank (ADB) di Glasgow, November lalu.
Menurut Wamenkeu, ini akan menjadi suatu platform yang menggabungkan dua hal yang sangat penting yaitu fasilitas pengurangan karbon dan fasilitas untuk membangun energi terbarukan.
“Untuk negara seperti Indonesia yang 70% sumber listriknya berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara, ETM ini sangat penting. Ini adalah platform yang dibutuhkan untuk transisi energi termasuk pembangunan yang ramah lingkungan,” jelas Wamenkeu. (ATN)
Discussion about this post