ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kebijakan Pemerintah Indonesia membatasi merk dan kemasan global sebaiknya ditinjau ulang. Pasalnya, selain dinilai memberatkan pelaku usaha di dalam negeri, kebijakan itu juga mengancam arus investasi di Indonesia.
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Eddy Hussy pembatasan merek dan kemasan akan membatasi ruang gerak pengusaha dan menimbulkan risiko lain.
“Risiko itu mulai dari pemboncengan produk, reputasi, pemalsuan, produk ilegal, yang ujung-ujungnya akan merusak iklim persaingan usaha,” jelasnya di Jakarta, Rabu (2/10/2019).
Dengan pembatasan ini kata dia, sejumlah produk baru dengan ekuitas merek yang masih rendah dipastikan kesulitan bersaing dengan merek lain yang sudah dikenal masyarakat.
Sementara itu, Asian-Pacific Chief Representative International Trademark Association (INTA) Seth Hays memandang, kebijakan ini akan mencederai hak kekayaan intelektual.
Menurutnya, pembatasan merk ini memiliki sejumlah risiko jangka panjang dan akan menciptakan kerugian.
“Efek beragam, mulai dari potensi peningkatan perdagangan barang palsu, meningkatnya kebingungan konsumen, pelanggaran kewajiban internasional, dan kehancuran nilai merek dagang dan brand,” jelas Hays.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga kata dia, akan menciptakan efek domino terhadap perekonomian negara, mulai dari menurunnya arus investasi asing, ancaman anti-inovasi, dan pelanggaran hak-hak konstitusional seperti kebebasan berekspresi bagi pengusaha, dan hilangnya kekuatan merek dagang.
“Saya kira pemerintah dapat mempertimbangkan berbagai kepentingan melalui penelitian independen dan memilih opsi yang paling moderat sebelum menerapkan kebijakan pembatasan merek dan pengemasan,” imbuhnya.
Kebijakan pembatasan merek (branding) dan kemasan polos (plain packaging) sebenarnya telah diberlakukan oleh beberapa pemerintah negara di dunia seperti Australia, Ekuador dan Chile. Ini diterapkan untuk produk tembakau sejak tahun 2014 dan akan diperluas ke produk konsumsi lain yang dianggap mengancam kesehatan masyarakat. Implementasinya mulai dipertimbangkan di Indonesia, tidak hanya tembakau tapi juga makanan dan minuman.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo sebelumnya menyampaikan, saat ini pemerintah belum sampai pada tahap produk tanpa merek. Penerapannya baru sebatas peringatan kesehatan bergambar pada industri rokok.
Peraturan ini mengharuskan tampilan peringatan terpampang pada 40 persen area kemasan tembakau. Namun baru-baru ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan untuk memperbesarnya hingga 90 persen.
Di industri lain, pembatasan iklan dan pengemasan juga telah diterapkan pada kental manis dan industri analognya sejak November 2018. Sementara itu, pangan olahan dan pangan siap saji juga akan mengalami pembatasan serupa dengan mewajibkan pencantuman pesan kesehatan pada label kemasannya dan atau media informasi dan promosi lainnya mulai September 2019.
Kebijakan di atas dinilai akan sangat berdampak pada minat beli konsumen yang dipengaruhi oleh kemasan informatif dengan desain menarik. Bagi pengusaha makanan dan minuman, menyematkan branding pada kemasan adalah salah satu aset yang penting karena terkait dengan identitas dan pembeda dengan kompetitor. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post