ASIATODAY.ID, BIARRITZ – Para pemimpin negara-negara G7 di Prancis mendukung otonomi Hong Kong sebagaimana dituangkan dalam perjanjian 1984 antara Inggris dan Tiongkok. Mereka juga menyerukan ketenangan di kota yang tengah dilanda protes tersebut.
“G7 menegaskan kembali keberadaan dan pentingnya perjanjian Tiongkok-Inggris 1984 mengenai Hong Kong, dan seruan untuk menghindari kekerasan,” kata para pemimpin G7 dalam pernyataan bersama, dilansir dari Channel News Asia, Selasa (27/8/2019).
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan bahwa para pemimpin G7 yang terdiri dari Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Amerika Serikat dan Prancis, menyerukan keprihatinan mendalam atas situasi di Hong Kong.
“Negara-negara G7 semua ingin mendukung Hong Kong yang stabil dan makmur. Kami secara kolektif berkomitmen pada kerangka dua sistem satu negara,” katanya.
Sudah 12 pekan Hong Kong dilanda protes. Awalnya protes didasari pada ketidaksetujuan akan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang memungkinkan warga Hong Kong diadili di daratan Tiongkok.
Setelah RUU ditangguhkan, protes terus terjadi. Masyarakat kini meminta demokrasi Hong Kong semakin bebas.
Pada Senin kemarin, polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan para pedemo. Sebanyak 21 petugas kepolisian terluka, dan 86 orang ditangkap, termasuk yang paling muda berusia 12.
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, mengatakan eskalasi kekerasan protes anti-pemerintah semakin serius. Meski demikian, dia yakin pemerintah kota dapat menangani sendiri kerusuhan itu tanpa campur tangan pemerintah pusat Tiongkok.
“Saya tidak akan menyerah untuk membangun dialog (dengan masyarakat),” kata Lam, dilansir dari Channel News Asia, Selasa, 27 Agustus 2019.
Pemerintah Hong Kong mengatakan kekerasan telah mendorong kota semi-otonom tersebut ke ambang bahaya besar. Bentrokan akhir pekan lalu melibatkan tembakan senjata untuk kali pertama oleh aparat keamanan, dan juga penangkapan 86 pedemo — termuda berusia 12.
Tiga bulan lamanya protes telah bergulir di wilayah Hong Kong. Awalnya protes didasari pada ketidaksetujuan akan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. RUU ini memungkinkan orang-orang Hong Kong dikirim ke daratan Tiongkok untuk diadili di pengadilan yang dikendalikan Partai Komunis.
Namun, RUU tersebut telah ditangguhkan. Kini tuntutan merambah ke Hong Kong yang lebih bebas dari tekanan Tiongkok. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post