ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemborosan pangan menjadi sorotan kalangan aktivis lingkungan. Pasalnya, limbah tersebut turut berkonstribusi dan memicu perubahan iklim.
Ironisnya, tak banyak masyarakat di Indonesia yang belum paham soal ini karena pengetahuan tentang limbah organik yang masih kurang.
Menurut Pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra, pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca bisa dipicu oleh limbah.
“Di Indonesia kenaikan itu lebih banyak disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, sehingga Indonesia lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah,” terang Hangga dikutip antara, Rabu (9/10/2019).
Hangga memandang, kondisi ini mengakibatkan limbah organik jarang menjadi fokus. Apalagi, Indonesia juga tak terlalu memperhatikan masalah pemborosan pangan.
Menurut Hangga, Indonesia selama ini lebih fokus pada masalah kehutanan, sawit dan energi terbarukan. Limbah memang dibahas, baik di seminar maupun konferensi, namum tidak terlalu didalami.
“Karena menurut saya isu limbah makanan itu sering diremehkan dan diabaikan,” jelas Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.
Padahal kata dia, gas metana yang dihasilkan oleh limbah organik berupa sisa makanan yang sudah bercampur di tempat pembuangan akhir tersebut sangat besar. Metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2. Gas tersebut dapat memperburuk pemanasan global danmenjadi penyebab perubahan iklim secara langsung.
Oleh karena itu, Hangga menyarankan agar pemerintah dan berbagai lembaga harus mulai menggalakkan edukasi mengenai permasalahan limbah, terutama makanan, yang disebabkan oleh pemborosan pangan.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) PBB tahun 2016 dan 2017 menemukan bahwa setiap orang di Indonesia membuang sekitar 300 kg makanan setiap tahun. Indonesia menempati posisi kedua setelah arab Saudi dengan rata-rata limbah pangan 427 kg makanan per tahun.(AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post