ASIATODAY.ID, MOSKOW – Invasi militer Rusia ke Ukraina membuat perusahaan-perusahaan minyak dan gas (migas) cabut dari negeri itu.
Equinor, perusahaan energi raksasa Norwegia memutuskan mengakhiri kerjasama di Rusia. Perusahaan minyak dan gas tersebut akan menghentikan seluruh investasi di Rusia dan meninggalkan operasi joint ventures di sana, demikian pernyataan dari Equinor, Senin (28/2/2022).
“Kami sangat terganggu dengan invasi yang dilakukan ke Ukraina, yang menggambarkan kemunduran yang buruk bagi dunia,” kata Presiden sekaligus CEO Equinor Anders Opedal dikutip CNN.
Saat ini Equinor memiliki investasi jangka panjang sebesar USD1,2 miliar pada akhir tahun 2021. Equinor telah beroperasi selama lebih dari 30 tahun di Rusia dan memiliki perjanjian kerjasama dengan perusahaan negara Rosneft.
Keputusan ini tak lepas dari campur tangan pemerintah Norwegia. Seperti tercantum pada situs resmi Equinor, pemerintah Norwegia memiliki 2/3 saham perusahaan tersebut.
Norwegia pada Minggu (27/2/2022) telah mengumumkan agar dana investasi negara untuk dilepaskan dari keterkaitan dengan Rusia.
Hal serupa juga dilakukan oleh perusahaan raksasa energi dunia, yakni Shell Plc.
Penarikan bisnis itu termasuk dalam hal kemitraan dengan perusahan asal Rusia di negara tersebut.
Seperti dilansir dari Bloomberg, Selasa (1/3/2022), penarikan bisnis Shell itu merupakan bentuk protes invasi Rusia ke Ukraina.
Sebelum Shell, langkah serupa juga lebih dulu diumumkan oleh BP Plc pada Minggu (28/2/2022).
BP melaporkan bahwa mereka akan melepas sahamnya di BUMN Rusia yakni Rosneft OJSC. Hal itu membuat BP harus mengalami potensi kerugian hingga USD25 miliar.
Sementara itu, penarikan diri Shell membuat perusahaan mengakhiri kemitraannya dengan Gazprom PJSC, yang dikendalikan Kremlin yang terkait erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Perusahaan juga akan mengakhiri kemitraan eksplorasi dengan Gazprom yang disebut Gydan, dan menarik diri dari pipa Nord Stream 2, yang sudah ditangguhkan oleh otoritas Jerman Namun demikian, tidak dijelaskan berapa potensi kerugian yang akan dialami oleh Shell atas keputusannya itu.
Perusahaan hanya menyebutkan bahwa aset tidak lancar di bisnisnya di Rusia mencapai USD3 miliar.
Shell tercatat memiliki 27,5 persen dari fasilitas LNG Sakhalin. Selain itu perseroan juga memiliki 50 persen saham di Salym Petroleum Development, yang tahun lalu menghasilkan pendapatan sebesar USD700 juta bagi perusahaan.
“Keputusan kami untuk keluar dari Rusia adalah keputusan yang kami ambil dengan penuh keyakinan. Kami tidak bisa – dan kami tidak akan – berdiam diri,” kata Chief Executive Officer Shell Ben van Beurden, seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (1/3/2022).
Langkah yang diambil Shell muncul setelah Pemerintah Inggris, yang bersama dengan Amerika Serikat dan sekutu lainnya berusaha menekan ekonomi Rusia serta meyakinkan Putin bahwa invasinya ke Ukraina akan menimbulkan kehancuran finansial. (ATN)
Discussion about this post