ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sanksi Uni Eropa dan Pemerintah Inggris berdampak terhadap rencana kinerja perusahaan induk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Premier Oil Tuna BV, Harbour Energy plc, dalam merealisasikan proyek pengembangan Wilayah Kerja (WK) Tuna tahun ini.
Melalui pertemuan dengan pimpinan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) awal tahun ini, Harbour Energy menyampaikan adanya pembatasan dari Uni Eropa serta pemerintah Inggris untuk mengembangkan portofolio lapangan minyak dan gas (migas) bersama mitra Rusia yang terletak di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam itu.
“Rencana pengembangan itu terdampak sanksi Uni Eropa dan pemerintah Inggris yang membatasi kemampuan kami sebagai operator untuk menyediakan layanan tertentu bagi mitra Rusia kami di Lapangan Tuna,” demikian keterangan Harbour Energy dalam laporan tahunan mereka dikutip Senin (13/3/2023).
Blok Natuna dioperatori Premier Oil Tuna B.V. dengan hak partisipasi 50 persen. Premier Oil bermitra dengan perusahaan migas pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft lewat anak perusahaannya, ZN Asia Ltd yang juga memegang hak partisipasi 50 persen.
Melalui laporan tahunan itu, Harbour Energy menjelaskan akan berkoordinasi dengan Zarubezhneft untuk memastikan rencana pengembangan lapangan bisa direalisasikan tahun ini sesuai dengan lini masa yang disepakati bersama dengan SKK Migas.
Sanksi itu menjadi tindaklanjut dari sikap Uni Eropa dan pemerintah Inggris atas invasi Rusia ke Ukraina sejak awal tahun lalu.
“Kami akan bekerja sama dengan mitra kami untuk sampai pada jalan keluar tertentu, memastikan pengembangan proyek ini berjalan tahun ini,” tulis Harbour Energy.
Sementara itu, Chief Executive Officer Harbour Energy Linda Z Cook mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus meningkatkan investasi pada aset di luar negeri.
Menurut Linda, tarif pajak 75 persen yang masih diterapkan di Inggris membuat investasi domestik kurang kompetitif di tengah pelemahan harga minyak dan gas saat ini.
“Berkaca pada instabilitas fiskal dan outlook investasi di dalam negeri, situasi itu mendorong kami untuk tumbuh dan mendiversifikasi portofolio secara internasional,” kata Linda.
Harbour Energy akan memfokuskan belanja modal atau capital expenditure (capex) portofolio internasional mereka pada eksplorasi lanjutan di seluruh konsesi Laut Andaman tahun ini.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyetujui rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna di Blok Natuna pada akhir 2022 lalu. Persetujuan PoD itu dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan SKK Migas.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, persetujuan rencana pengembangan pertama Lapangan Natuna menunjukkan daya saing investasi hulu migas domestik yang masih menarik bagi investor dunia.
“Investasi Lapangan Natuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional,” kata Dwi melalui siaran pers, Senin (2/1/2023).
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 mendatang. Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun.
Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar.
Kementerian ESDM memperkirakan potensi gas yang dihasilkan Blok Tuna berada di kisaran 100 hingga 150 million standard cubic feet per day (MMscfd). Kementerian ESDM menargetkan dapat mengekspor gas ke Vietnam lewat blok itu pada 2026 mendatang. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post