ASIATODAY.ID, JAKARTA – Proyek Smelter Feronikel PT Antam di Halmahera Timur mendapat sorotan dari kalangan parlemen.
Pasalnya, hingga kini proyek Smelter tersebut belum juga rampung dan beroperasi. Padahal, smelter tersebut direncanakan akan rampung dan mulai beroperasi pada tahun 2019 lalu.
“Smelter Antam di Halmahera Timur ini tidak kunjung selesai, kalau target dulu awalnya 2019 beroperasi, terus molor. Selalu disebut yang menjadi persoalan adalah pasokan listrik PLN, dari dulu ini tidak kunjung selesai. Terakhir kemudian sudah ada penandatanganan kontrak terkait pasokan listrik dengan PLN, saya tidak tahu kemudian nanti alasan apa lagi terkait dengan penundaan operasi smelter ini,” tegas anggota Komisi VI DPR RI, Budhy Setiawan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero)/MIND ID, Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk, dan Direktur Utama PT Freeport Indonesia, mengenai progres Indonesia Battery Corp (EV Battery) dan program hilirisasi minerba (progres proyek smelter) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (12/9/2022).
Budhy mempertanyakan keseriusan Antam terkait hilirisasi baterai.
“Saya ingin melihat keseriusan dari Antam ini sendiri, kalau Panja BUMN Energi saya yakin serius untuk mendorong ini, tapi bagaimana dengan PT Antam nya sendiri dengan keseriusan target produksinya, ini sudah molor lama pak,” tambahnya.
Selain Budhy, Anggota Komisi VI Adisatrya Suryo Sulisto berharap rencana pengoperasian smelter yang direncanakan akan mulai beroperasi pada akhir tahun 2022 tersebut.
Ia pun berharap proyek tersebut dapat menjadi perhatian khusus. Perhatian tersebut utamanya juga dalam hal planning dan implementasi dari setiap proyek sehingga tidak menimbulkan kerugian negara dan pemasukan negara dapat lebih maksimal.
“Kami berharap ini segera terealisasi tidak ada delay lagi. Apalagi kalau saya pahami disini permasalahannya itu lebih ke pengadaan energi listrik dan itu seharusnya bukan tahapan yang terlalu sulit lagi bagi Antam untuk mengadakan itu dibandingkan dengan pembangunan-pembangunan pada tahap awalnya,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Dirut MIND ID Hendi Prio Santoso mengatakan permasalahan yang terjadi dalam pembangunan smelter di Halmahera Timur terletak di sisi kontraktor.
Ia menambahkan, dari sisi kontaktor ada kesalahpahaman yang terjadi sehingga menghambat keberlanjutan pembangunan smelter tersebut.
“Jadi sebenarnya dari sisi kami tidak ada dispute, yang ada dispute di sisi kontraktor. Kontraktor merasa kalau dia melanjutkan ini, dia akan rugi besar pak. Jadi mungkin kami tidak ada pilihan lain selain memutus kontrak ini dan mengulang proses pencarian kontraktor baru untuk bisa melanjutkan proyek ini,” jelasnya. (bia/aha)
Smelter Nikel Kelas Satu
Saat ini, Antam sedang menjajaki kerjasama global dengan sejumlah perusahaan untuk membangun pabrik nikel kelas satu sebagai bahan utama baterai kendaraan listrik.
“Kami (Antam dan IBC) berada di bawah naungan Inalum atau MIND ID telah menandatangani framework agreement yang akan menjadi dasar bukan hanya pembangunan smelter, tapi juga turunan katoda prekursor dan baterai sampai daur ulang baterai juga dibangun di Indonesia,” jelas Direktur Utama Antam, Nico Kanter.
Nico memaparkan, nikel memiliki dua jenis, yaitu nikel kelas satu yang dimanfaatkan untuk baterai kendaraan listrik dan nikel kelas dua yang digunakan untuk produk stainless steel.
Menurutnya, pabrik-pabrik di Indonesia termasuk yang ada di Sulawesi Tenggara selama ini hanya mengolah nikel kelas dua menjadi nickel pig iron atau feronikel yang kemudian diturunkan menjadi stainless steel.
Sedangkan nikel kelas satu adalah nikel yang diproduksikan menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP) atau mixed sulphide precipitate (MSP) berupa bahan-bahan yang digunakan untuk menjadi prekusor atau katoda yang akhirnya menjadi baterai kendaraan listrik.
“Jadi (nikel) kelas satu ini memang belum ada pabriknya di Indonesia, tapi kami sudah menandatangani beberapa perjanjian kerjasama untuk bangun smelter prekusor dan juga baterai,” jelas Nico.
Antam bersama Indonesia Battery Corporation (IBC) telah menandatangani dua perjanjian awal dengan perusahaan Ningbo Contemporary Brunp Lygen (CBL) asal China dan LG Corporations asal Korea Selatan pada Maret tahun ini.
Kedua perusahaan asing itu adalah konsorsium yang mengikutsertakan ahli membangun pabrik, katoda dan baterai kendaraan listrik dalam proyek ini.
Dalam konsorsium itu, posisi Antam berada di sektor hulu lantaran memiliki ekuitas terbesar dan sumber daya alam berupa nikel. Antam akan menandatangani kontrak usaha patungan atau joint venture agreement (JVA) dengan CBL.
“Kami sebagai pemilik resource tentunya memiliki ekuitas terbesar. Jadi, nanti di dalam JVA kami memiliki 51 persen dan CBL ataupun LG akan memiliki 49 persen,” katanya.
Setelah hulu akan masuk ke pembangunan smelter untuk menghasilkan produk turunan yang akan diolah menjadi katoda dan prekusor.
Di dalam kontrak usaha patungan smelter itu, komposisi kepemilikan Antam dan IBC hanya 40 persen dan sisanya 60 persen dimiliki oleh CBL maupun LG.
CBL membangun pabriknya di wilayah Halmahera Timur, Maluku Utara, begitu juga dengan LG hanya daerah saja yang berbeda. Adapun pabrik turunan berikutnya mereka canangkan di Batang, Jawa Tengah.
“Kami akan masuk ke dalam industri baterai kendaraan listrik, jadi tidak lagi hanya di strainless steel untuk turunan terakhirnya,” tandas Nico. (ATN)
Discussion about this post