ASIATODAY.ID, JAKARTA – Langkah Pemerintah Indonesia dalam merespon pandemi global coronavirus (Covid-19) dinilai berantakan dan tidak sinkron.
Pasalnya, aturan yang dikeluarkan pemerintah sering kali bertolak belakang.
“Kita amati, ada sejumlah kebijakan yang saling bertolak belakang, misalnya antara PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan kebijakan transportasi antarkawasan,” tegas Anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Menurut Nabil, dengan kondisi itu maka wajar jika kebijakan transportasi umum direspons negatif oleh publik di tanah air. Selain bertentangan, masyarakat bingung dengan kebijakan yang awalnya disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi itu.
“Ini sekaligus membuat pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Komunikasi mitigasi pandemi tidak komprehensif dan fakta di lapangan menujukkan itu,” jelasnya.
Pemerintah pun diminta segera membenahi komunikasi lintas sektoral sehingga kebijakan yang dibuat tidak membuat masyarakat kecewa.
“Munculnya tagar #IndonesiaTerserah merupakan suara publik yang harus didengarkan pemerintah,” imbuhnya.
Pemerintah juga diminta bijak dalam mengeluarkan kebijakan. Salah satunya menghargai perjuangan pihak yang berjuang selama ini membantu menghadapi virus corona, terutama tenaga medis dan pihak yang patuh menjalankan aturan PSBB.
“Jadi jelas bahwa jangan sampai perjuangan panjang ini sia-sia, karena kebijakan yang salah sasaran dan komunikasi antar kementerian/antar pejabat yang tidak terpadu,” tandasnya.
Hingga Kamis (21/5/2020) hari ini, Indonesia mencatat adanya ledakan jumlah pasien coronavirus (Covid-19).
Pasien positif bertambah 973 orang. Dengan demikian, total pasien positif menjadi 20.162 orang.
Temuan peningkatan kasus merupakan hasil pemeriksaan 219.975 spesimen. Pemeriksaan dilakukan melalui polymerase chain reaction (PCR) dan tes cepat molekular (TCM).
Untuk pasien yang dinyatakan sembuh capai 4.838 orang, sementara pasien meninggal mencapai 1.278 orang.
Paling Buruk di Asia Tenggara
Sebelumnya, pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik J Rachbini menilai kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Indonesia dinilai paling buruk dibanding negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN).
“Data hasil PSBB dan kebijakan pandemi Covid-19 di Indonesia paling tidak sukses atau bahkan buruk dibanding dengan tingkat kesuksesan negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN),” jelas Didik J Rachbini, melalui keterangan tertulisnya, yang diterima Kamis (21/5/2020).
INDEF pun mengingatkan pemerintah agar tidak sembarangan melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pelonggaran PSBB secara serampangan sama saja dengan menuju herd immunity (kekebalan kawanan) dengan cara berbahaya.
“Peringatan yang harus disampaikan di sini bahwa pelonggaran dan wacana pelonggaran yang tidak berhati-hati tanpa pertimbangan data yang cermat sama dengan masuk ke dalam jurang kebijakan herd immunity. Yang kuat sukses, yang lemah tewas,” jelasnya.
Herd immunity atau ‘kekebalan kawanan’ merupakan imunitas banyak individu terhadap suatu virus, kekebalan itu didapatkan banyak individu karena kawanan mereka sudah terjangkit virus secara besar-besaran. Yang selamat dari virus akan kebal, namun yang tidak selamat akan meninggal.
“Ini bisa dianggap sebagai kebijakan pemerintah menjerumuskan rakyatnya ke jurang kematian yang besar jumlahnya,” tutur Didik.
Karena itu, INDEF meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhati-hati terhadap wacana pelonggaran PSBB. Wacana itu membuat masyarakat tidak lagi disiplin mengikuti protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus Corona.
“Presiden harus berhati-hati dan bertanggung jawab terhadap pelonggaran dan wacana pelonggaran yang sudah salah kaprah dan ditanggapi terserah saja oleh publik dan masyarfakat luas. Ini sebagai pertanda tidak percaya dan pasrah terhadap keadaan,” tutur Didik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan cara pembiaran penyebaran virus untuk mencapai herd immunity karena risiko banyaknya korban jiwa yang mungkin bisa ditimbulkan.
WHO memandang, masyarakat manusia bukanlah sekadar kawanan hewan (herd), jadi cara itu tidak cocok diterapkan untuk masyarakat.
Didik merujuk data dari Endcoronavirus (ECV) yang merupakan koalisi relawan internasional, mengaku disokong 4.000 relawan, terdiri dari ilmuwan, organisator masyarakat, warga yang peduli, pebisnis, dan individu. ECV dimulai sejak 29 Februari 2020 pada organisasi induk New England Complex Systems Institute (NECSI) di Cambridge, Amerika Serikat.
Dalam data Endcoronavirus, kurva virus Corona dari negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) bisa dibandingkan. Didik membandingkan kurva Corona di Indonesia dengan kurva Corona Singapura, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Hasilnya, hanya Indonesia saja di antara negara-negara itu yang kurvanya nampak menanjak tanpa penurunan signifikan.
“Dengan melihat fakta yang ada dan kurva yang masih terus meningkat, maka atas dasar apa wacana dan rencana pelonggaran akan dilakukan? Baru wacana saja sudah semakin tidak tertib dan PSBB dilanggar secara massal di berbagai kota di Indonesia tanpa bisa diatur secara tertib oleh pemerintah. Keadaan ini terjadi karena pemerintah menjadi masalah kedua setelah masalah Covid-19 itu sendiri. Pemerintah tidak menjadi bagian dari solusi, tetapi masuk ke dalam menjadi bagian dari masalah,” papar Didik.
PSBB Tidak Dilonggarkan baru Rencana
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat membuka rapat terbatas dengan topik pembahasan percepatan penanganan pandemi COVID-19 melalui video conference di Istana Merdeka, menegaskan bahwa sampai saat ini pemerintah sama sekali belum terpikir untuk melonggarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diberlakukan di sejumlah daerah.
“Saya tegaskan, belum ada kebijakan pelonggaran PSBB,” kata Jokowi, Senin (18/5/2020).
Dalam video siaran langsung yang diunggah akun Youtube Sekretariat Kepresidenan itu, nada bicara kepala negara saat mengutarakan pernyataan tersebut memang terdengar cukup tinggi dan tidak seperti biasanya.
“Nanti ditangkap oleh masyarakat bahwa pemerintah mulai melonggarkan PSBB. Belum. Jadi belum ada kebijakan pelonggaran PSBB,” tegas Jokowi.
Jokowi tak memungkiri bahwa memang benar ada rencana untuk melonggarkan kebijakan PSBB melalui berbagai skenario. Namun, hal tersebut akan diputuskan saat pemerintah merasa waktunya sudah tepat.
“Yang kita siapkan baru sebatas rencana atau skenario pelonggaran yang akan diputuskan setelah ada timing yang tepat, serta melihat data-data dan fakta-fakta di lapangan biar semuanya jelas, karena kita harus hati-hati. Jangan keliru memutuskan,” katanya.
Jokowi menegaskan bahwa fokus utama pemerintah saat ini bukanlah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diberlakukan di sejumlah daerah. Pemerintah, fokus menegakkan aturan kepada larangan mudik.
“Dalam minggu ini, maupun minggu ke depan, ke depannya lagi, 2 minggu ke depan pemerintah masih fokus kepada larangan mudik dan mengendalikan arus balik,” imbuhnya. (ATN)
Discussion about this post