ASIATODAY.ID, JAKARTA – Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia membengkak menjadi USD401,4 miliar atau setara Rp5.501,6 triliun pada November 2019. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), ULN tersebut mengalami kenaikan sebesar 8,3 persen year on year (yoy).
Utang tersebut terdiri dari utang sektor publik yang berasal dari pemerintah dan bank sentral sebesar USD201,4 miliar atau setara Rp2.760,4 triliun, serta utang luar negeri sektor swasta termasuk BUMN sebanyak USD200,1 miliar atau setara dengan Rp2.742,6 triliun.
“ULN Indonesia tersebut tumbuh melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 12 persen (yoy). Perkembangan ULN tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN pemerintah maupun ULN swasta,” jelas Bank Indonesia melalui keterangan resminya, Rabu (15/01/2020).
Adapun ULN pemerintah diklaim juga mengalami pertumbuhan melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya. Posisi ULN pemerintah pada akhir November 2019 tercatat sebesar USD198,6 miliar (Rp2.722 triliun) atau tumbuh 10,1 persen (yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 13,6 persen (yoy).
Posisi ULN pemerintah tersebut juga tercatat lebih rendah dibandingkan dengan posisi pada bulan sebelumnya, terutama karena pelunasan pinjaman bilateral dan multilateral yang jatuh tempo pada periode laporan.
Pengelolaan ULN pemerintah diprioritaskan untuk membiayai pembangunan, dengan porsi terbesar pada beberapa sektor produktif yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 19 persen dari total ULN pemerintah.
“Kemudian sektor konstruksi (16,5 persen); sektor jasa pendidikan (16,1 pendidikan); sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,4 persen); serta sektor jasa keuangan dan asuransi (13,4 persen),” kata BI.
Sementara utang luar negeri swasta tumbuh lebih rendah dari bulan sebelumnya. ULN swasta tumbuh 6,9 persen (yoy) pada akhir November 2019, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 10,7 persen (yoy).
Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh tingginya pelunasan surat berharga domestik yang jatuh tempo, meskipun pada periode yang sama terdapat penerbitan surat utang perusahaan bukan lembaga keuangan (PBLK) dan penarikan pinjaman oleh perbankan.
Secara sektoral, ULN swasta didominasi oleh sektor jasa keuangan dan asuransi; sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara (LGA); sektor industri pengolahan; serta sektor pertambangan dan penggalian. Pangsa ULN di keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,9 persen.
Bank sentral menyebut struktur ULN Indonesia tetap sehat didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Kondisi tersebut tercermin dari rasio ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada November 2019 sebesar 35,9 persen yang relatif stabil dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya. Di samping itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang dengan pangsa 88,5 persen dari total ULN.
“Dalam rangka menjaga struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan pemerintah terus meningkatkan koordinasi dalam memantau perkembangan ULN, didukung dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” tutup rilis Bank Indonesia tersebut.
Potensi Krisis
Berdasarkan Laporan World Bank atau Bank Dunia yang terbaru, gelombang utang negara berkembang mencatat rekor tercepat dan tertinggi dalam lima dekade terakhir sehingga bisa berakhir dengan krisis.
Bank Dunia mengingatkan, jika gelombang itu pecah maka dampaknya akan lebih buruk lagi karena akan menghantam perusahaan-perusahaan swasta selain pemerintah. Pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi lamban, menurut laporan terbaru yang mencakup empat lonjakan utang dari tahun 1970 hingga 2018.
“Ukuran, kecepatan, dan luasnya gelombang utang terbaru harus menjadi perhatian kita semua,” kata Presiden Bank Dunia, David Malpass dalam keterangannya yang diterima Jumat (20/12/2019) lalu. Karena itu, Bank Dunia menyebutkan sudah waktunya kondisi itu diperbaiki.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengeluarkan peringatan tentang pertumbuhan utang global selama bertahun-tahun, tetapi laporan terakhir lebih tajam. Karena itu lembaga tersebut meningkatkan intensitas seruannya bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah guna mencegah krisis utang.
Direktur Utama IMF Kristalina Georgieva mengatakan, negara-negara berkembang terutama di Afrika perlu mencapai keseimbangan yang tepat antara pengembangan pembiayaan dan tingkat utang yang dapat dikelola.
IMF melaporkan bahwa total utang global naik menjadi US$188 triliun pada akhir 2018 atau setara dengan hampir 230 persen ekonomi dunia.
Laporan Bank Dunia menyoroti lonjakan utang “yang mencolok” di negara-negara baru tumbuh dan berkembang (EMDE). “Utang mereka merupakan yang terbesar, tercepat, dan paling luas dalam 50 tahun terakhir.”
Setelah menurun selama krisis keuangan global 2008, di tengah biaya pinjaman yang sangat rendah dalam delapan tahun sejak 2010, utang negara-negara tersebut naik ke level tertinggi hingga sekitar 170 persen dari PDB atau sekitar US$55 triliun.
Sedangkan sebagian besar pertumbuhan utang terjadi di China (setara dengan lebih dari US$20 triliun), tetapi Beijing juga telah menjadi pemberi pinjaman besar bagi negara-negara berpenghasilan rendah.
Laporan itu juga memperingatkan bahwa gelombang utang saat ini bisa mengikuti pola historis dan berujung pada krisis keuangan di negara-negara berkambang terutama jika suku bunga melonjak atau jika ada goncangan global yang tiba-tiba. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post