ASIATODAY.ID, JAKARTA – Presiden World Bank Group David Malpass mendesak China, kreditur utama negara-negara miskin untuk berpartisipasi penuh dalam upaya pengurangan utang.
“Banyak negara yang sekarang menghadapi rekor utang luar negeri dan domestik saat kenaikan suku bunga dimulai,” kata Malpass dalam sebuah konferensi pers, sebagaimana dilaporkan CNA, Rabu (12/1/2022).
Menurut Malpass, sekitar 60 persen negara berpenghasilan rendah berisiko tinggi mengalami masalah utang, sementara pasar negara berkembang juga sedang berjuang.
“Pada tahun 2022 saja, negara-negara harus mengeluarkan dana sekitar USD35 miliar dalam untuk membayar utang kepada kreditur bilateral dan sektor swasta, dengan lebih dari 40 persen jatuh tempo ke China,” jelas Malpass.
“Sangat penting bahwa China berpartisipasi penuh dalam upaya pengurangan utang internasional,” ujarnya.
Ditambahkannya juga, upaya pengurangan utang juga perlu partisipasi dari sektor swasta dan kreditur komersial.
Malpass menyerukan percepatan penerapan “kerangka bersama” untuk restrukturisasi utang, yang disepakati oleh negara anggota G20, termasuk China, pada November 2020.
Kerangka bersama itu memberikan keringanan utang atau bahkan pembatalan kepada negara-negara terkait, dan mensukseskan Debt Service Suspension Initiative yang dibuat G20 pada awal pandemi COVID-19 untuk memberi negara-negara miskin moratorium pembayaran utang hingga akhir 2020 – meskipun mereka memperpanjangnya hingga tahun lalu.
Pertumbuhan Ekonomi Global 2022 Diproyeksi 4,1 Persen
Malpass mengatakan bahwa ekonomi global menghadapi “pandangan suram”,karena lonjakan susulan COVID-19 terus membebani pertumbuhan – terutama di negara-negara miskin.
World Bank telah memperbarui preyeksi terhadap pertumbuhan nekonomi global bakal melambat menjadi 4,1 persen tahun ini dari 5,5 persen yang diprediksi pada 2021.
Penurunan proyeksi ini berkaitan dengan ancaman Virus Corona, dan pelepasan bantuan pemerintah.
Namun Malpass mengungkapkan bahwa kekhaawatiran terbesarnya adalah melebarnya ketidaksetaraan global.
“Hambatan besar adalah ketidaksetaraan yang dibangun ke dalam sistem,” katanya kepada BBC, mencatat bahwa negara-negara miskin sangat rentan terhadap dampak ekonomi dari upaya memerangi inflasi.
“Prospek negara-negara yang lebih lemah masih semakin jauh tertinggal. Itu menyebabkan ketidakamanan,” bebernya.
Pada tahun 2023 mendatang, aktivitas ekonomi di semua negara maju, seperti Amerika Serikat, kawasan Euro, dan Jepang, kemungkinan akan pulih dari pukulan yang terjadi selama pandemi, menurut World Bank.
Tetapi output di negara berkembang diperkirakan akan tetap 4 persen lebih rendah daripada sebelum pandemi. (ATN)
Discussion about this post