ASIATODAY.ID, JAKARTA – World Bank menyoroti lambatnya upaya Indonesia dalam mengejar target penurunan emisi gas rumah kaca serta pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Dalam COP21 Paris, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Sebagai bagian dari upaya mewujudkan komitmen tersebut, pemerintah mencanangkan pencapaian target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025.
Menurut Satu Kahkonen, World Bank Country Director for Indonesia and Timor-Leste, kemajuan Pemerintah Indonesia dalam mencapai kedua target tersebut berjalan lambat dari yang diperkirakan dengan investasi pada pengembangan EBT yang terbatas.
“Hanya kemajuan moderat yang telah dibuat sejauh ini untuk mencapai target tersebut. Saat ini, bauran EBT pada pembangkit listrik hanya 12 persen sehingga masih cukup jauh untuk mencapai target 23 persen,” kata Kahkonen di forum Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIIGC) 2020, Selasa (8/9/2020).
Kahkonen menilai, yang terjadi saat ini emisi karbon di Indonesia justru mengalami peningkatan.
Pada tahun 2000, sektor energi dan transportasi tercatat menyumbang 30 persen dari total emisi karbon yang dihasilkan. Namun saat ini, dua sektor tersebut tercatat menyumbang sekitar 50 persen dari total emisi. Diperkirakan kontribusi dari dua sektor ini akan terus meningkat hingga 2030.
“Dibutuhkan tindakan cepat terhadap dua sektor ini bila Indonesia ingin mencapai dua target tersebut,” imbuhnya.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumber EBT yang dimiliki Indonesia.
“Indonesia sangat beruntung karena diberkahi berbagai macam sumber EBT, seperti panas bumi, air, surya, angin, dan lainnya,” jelasnya.
Kahkonen memandang, sistem kelistrikan utama Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit batu bara. Padahal terdapat potensi panas bumi cukup besar, yakni sekitar 20 gigawatt (GW), yang bisa dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara.
Di sisi lain, potensi panas bumi juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan akses listrik di wilayah Indonesia bagian timur.
“Terdapat potensi mengembangkan 1 hingga 2 GW pembangkit panas bumi yang biaya produksi listriknya bisa lebih efisien dibanding pembangkit diesel,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post