ASIATODAY.ID, BEIJING – Pada paruh kedua tahun lalu, Xi Jinping kembali ke aktivitas diplomatik “tatap muka” setelah “diplomasi awan” yang menjadi ciri khas pandemi selama 2,5 tahun.
Selama empat bulan terakhir saja, Xi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 (G20) di Bali, Pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC di Bangkok, dan KTT China-Arab pertama, dan KTT China-Dewan Kerja Sama Teluk di Riyadh.
Di sela-sela sejumlah acara multilateral tersebut, Xi juga menggelar pertemuan bilateral dengan para pemimpin dari puluhan negara, antara lain Prancis, Belanda, Australia, Korea Selatan, Jepang, Indonesia, Arab Saudi, Mesir, dan Irak.
Di dalam negeri, Xi menjamu banyak pemimpin dan pejabat asing di Beijing setelah kongres Partai. Para tamu tersebut termasuk para pemimpin dari Vietnam, Pakistan, Tanzania, Jerman, Kuba, Mongolia, Laos, Rusia, Filipina, Iran, dan Belarus. Bagi sebagian kepala negara itu, ini menandai kunjungan pertamanya ke China, sementara bagi sebagian yang lain adalah “sahabat lama”.
Dalam satu dekade terakhir, Xi dengan jelas menyampaikan bahwa China akan menciptakan berbagai peluang baru melalui pembangunan serta memperkuat stabilitas dan kepastian pada dunia yang bergejolak.
“Seiring perkembangannya, China akan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kemakmuran bersama dunia,” ujar Xi.
Dalam pertemuannya dengan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani di Riyadh pada Desember lalu, Xi menyebutkan Piala Dunia FIFA yang digelar oleh Qatar, mengatakan bahwa ajang tersebut menyuntikkan energi segar dan positif ke dunia yang tidak pasti saat ini. Tamim berterima kasih kepada China atas kontribusinya pada ajang Piala Dunia itu, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan China membangun stadion utama, dan kedatangan dua panda menambah suasana meriah pada turnamen tersebut.
Stadion yang dimaksud Tamim adalah Stadion Lusail Qatar, yang menjadi venue pertandingan final Piala Dunia antara Argentina dan Prancis. Stadion ini dianggap oleh banyak orang sebagai pencapaian ikonik dari Inisiatif Sabuk dan Jalur Sutra (Belt and Road Initiative/BRI).
BRI, yang diusulkan oleh Xi pada 2013, juga membantu Indonesia membangun kereta cepat pertamanya. Usai KTT G20 di Bali, Xi dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyaksikan uji coba operasional Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) via tautan video. Kereta cepat yang dibangun bersama oleh kedua negara itu diharapkan dapat memfasilitasi pergerakan barang dan orang serta meningkatkan pendapatan daerah.
Hingga saat ini, 151 negara dan 32 organisasi internasional telah menandatangani dokumen di bawah kerangka kerja Sabuk dan Jalur Sutra, yang menguntungkan negara-negara peserta.
Pelabuhan Piraeus di Yunani berkembang menjadi salah satu pelabuhan peti kemas dengan pertumbuhan tercepat di dunia sejak sebuah perusahaan China bergabung dalam operasinya.
Proposal penting lainnya yang diajukan Xi pada 2013 adalah komunitas dengan masa depan bersama untuk umat manusia. Proposal tersebut diabadikan dalam konstitusi Partai dan negara serta dimasukkan ke dalam dokumen penting Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional atau mekanisme multilateral lainnya.
Xi pada KTT G20 mengatakan bahwa semua negara harus merangkul visi komunitas dengan masa depan bersama untuk umat manusia dan mendukung upaya perdamaian, pembangunan, dan kerja sama yang saling menguntungkan (win-win).
“Semua negara harus mengganti perpecahan dengan persatuan, konfrontasi dengan kerja sama, dan eksklusi dengan inklusivitas,” kata Xi dalam pidatonya.
Dia juga dengan sungguh-sungguh berjanji kepada dunia, “Tidak peduli tahap perkembangan apa yang dicapai, China tidak akan pernah mengejar hegemoni atau terlibat dalam ekspansionisme.”
Dia percaya bahwa selama negara-negara besar menjaga komunikasi dan memperlakukan satu sama lain dengan tulus, “perangkap Thucydides” dapat dihindari.
China menunjukkan kepada dunia bahwa suatu negara dapat berkembang dan maju tanpa terlibat dalam ekspansionisme, serta dapat membantu negara lain berkembang secara bersamaan, demikian dikatakan Presiden Iran Ebrahim Raisi dalam sebuah artikel yang ditandatangani yang diterbitkan sebelum dia berkunjung ke China pada Februari lalu.
Merespons inisiatif Xi, delegasi Arab Saudi dan Iran mengadakan pembicaraan pada awal bulan ini di Beijing. Kedua negara itu mencapai kesepakatan untuk memulihkan hubungan diplomatik serta membuka kembali kedutaan besar dan misi mereka dalam waktu dua bulan.
Salah satu pertemuan diplomatik Xi paling disoroti dalam beberapa bulan terakhir adalah pertemuan tatap muka pertamanya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sejak Joe Biden resmi menjabat sebagai presiden.
Dalam pembicaraan selama lebih dari tiga jam di Bali pada 14 November tahun lalu, Xi mengatakan kepada Biden bahwa hubungan China-AS tidak boleh menjadi permainan dengan mentalitas menang-kalah (zero-sum) di mana satu pihak mengungguli atau berkembang dengan mengorbankan pihak lain, serta keberhasilan China dan AS merupakan peluang, bukan tantangan, bagi satu sama lain.
“China tidak berusaha mengubah tatanan internasional yang ada atau mencampuri urusan internal AS dan tidak berniat untuk menantang atau menggantikan AS,” kata Xi.
Biden mengatakan AS menghormati sistem China dan tidak berupaya mengubahnya. AS tidak menginginkan Perang Dingin baru dan tidak berupaya merevitalisasi aliansi melawan China, katanya. Biden juga mengatakan bahwa AS tidak mendukung “kemerdekaan Taiwan”, tidak mendukung apa yang disebut “Dua China” atau “Satu China, Satu Taiwan”, dan tidak memiliki niat untuk berkonflik dengan China.
Dalam pertemuannya dengan para pemimpin Eropa, Xi menekankan bahwa terkait krisis Ukraina, China mendukung gencatan senjata, penghentian konflik, dan pembicaraan damai. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post