ASIATODAY.ID, JAKARTA – Citayam Fashion Week, sebuah ‘Teater Jalanan’ di Kota Jakarta sedang menjadi kontroversi di Indonesia.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) bahkan turut merespon hal itu. Ia pun memberikan dukungan positif kepada fenomena Citayam Fashion Week.
“Asalkan positif saya kira tidak ada masalah, jangan diramaikan, hal-hal yang positif itu harus diberikan dukungan dan didorong,” ujar Presiden Jokowi, usai menghadiri Puncak Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2022 di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/07/2022).
Menurut Presiden, selama kreativitas tersebut bersifat positif dan tidak melanggar aturan, maka hal tersebut juga perlu didukung.
“Asal tidak menabrak aturan, itu kan kreatif, karya-karya kreativitas seperti itu kenapa harus dilarang, asal sekali lagi tidak menabrak aturan dan tidak melanggar aturan, prinsipnya di situ,” imbuhnya.
Apapun itu, Citayam Fashion Week telah menjadi fenomena subkultur baru yang merepresentasikan kreativitas anak muda melawan kultur arus utama.
Fenomena ini kemudian menarik segelintir pesohor berkolaborasi memanfaatkan peluang, meskipun pada akhirnya menuai kontroversi di masyarakat.
Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) yang juga pegiat industri kreatif Dwi Purnomo menjelaskan terlepas kontroversinya, kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Namun, kolaborasi bukan sekadar untuk menarik keuntungan.
“Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya,” kata Dwi dikutip dari laman unpad.ac.id, Selasa (26/7/2022).
Menurut Dwi, era digital saat ini menjadi upaya strategis memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga kebelanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.
Dia menyebut Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif. Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.
“Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang,” papar dia.
Namun, Dwi mengatakan kolaborasi tetap perlu dikemukakan secara gamblang untuk menghindarkan salah persepsi oleh publik.
“Siapa tahu asumsi saya, dia (pesohor) punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan,” kata Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung tersebut.
Dwi menyebut di era digital ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan. Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.
“Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan,” kata Dwi.
Dwi mengkritisi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week. Penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut.
“Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju simpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental,” imbuhnya.
Deputi Pengembangan Bisnis Kawasan Sains dan Teknologi Padjadjaran tersebut memaparkan analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono. Melalui model tersebut, suatu fenomena diuraikan sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif.
Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi.
Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi. Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.
Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah. Padahal, ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.
“Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post