ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dari 4,7 persen menjadi 5,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Langkah ini dilakukan dengan strategi pembiayaan salah satunya menambah porsi pinjaman atau utang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjamin hal tersebut dilakukan secara hati-hati.
“Tambahan bantalan satu persen menjadi 5,2 persen, strategi defisit dan pembiayaan dilakukan dengan sangat hati-hati,” jelas Sri dalam konferensi pers, di Jakarta, Selasa (28/7/2020).
Menurut Sri, pemerintah akan menggunakan sumber-sumber pembiayaan yang akan memberikan dampak stabilitas terhadap Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan.
Pemerintah juga akan mengandalkan penerbitan SBN baik di domestik maupun global, baik konvensional maupun syariah, baik retail maupun non-retail untuk mendapatkan komposisi yang terbaik.
“Tentu kita akan jaga dan Bank Indonesia (BI) sesuai SKB pertama jadi stand by buyer. Kita akan diskusi dengan BI, bagaimana BI akan tetap menjadi peserta lelang reguler atau mereka akan melakukan green shoe atau private placement,” paparnya.
Di samping penerbitan SBN, pemerintah juga akan mencari sumber pembiayaan lain baik dari bilateral maupun multilateral agar dapat dana yang relatif yang lebih murah serta mendorong produktivitas maksimal.
“Pemerintah melakukan pengelolaan dari outstanding utang secara hati-hati karena defisit meningkat debt to GDP ratio kita bisa mendekati 40 persen,” jelasnya.
Jika mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, rasio utang dipatok pada batas 60 persen dari PDB.
Selama ini, rasio utang memang dijaga di bawah 30 persen. Namun menurut data dari Kemenko Maritim dan Investasi, di 2020 dan 2021 dengan adanya penambahan defisit maka rasio utang terhadap PDB berada di level 37,6 persen, bahkan diprediksi meningkat ke 38,2 persen di 2022. (ATN)
Discussion about this post