ASIATODAY.ID, JAKARTA – Energi Baterai kendaraan listrik kini jadi magnet baru di dunia.
Namun gencarnya produksi mobil listrik dan meningkatnya permintaan terhadap jenis kendaraan ini, rupanya tidak diimbangi dengan ketersediaan baterai sebagai sumber dayanya.
Meski perusahaan-perusahaan yang memproduksi baterai Electric Vehicle (EV) di China, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel) terus membangun pabrik baru, tetapi kecepatannya dikhawatirkan tidak bisa mengimbangi produksi mobil.
Padahal, banyak pembuat mobil listrik menjanjikan berbagai model EV baru, terutama untuk pasar AS, pada 2025. BNEF memproyeksi, pada 2022 lebih dari 500 model mobil listrik akan tersedia secara global.
“Ketersediaan baterai yang ada tidak mencukupi untuk memenuhi janji-janji pabrikan mobil listrik dalam jangka pendek. Banyak pabrik baterai yang sedang dibangun, tetapi masalahnya adalah suplai dalam jangka pendek. Banyak pabrikan mobil kewalahan saat ini,” terang Managing Director Cairn ERA Sam Jaffe seperti dilansir Bloomberg Sabtu (24/10/2020).
Baterai mobil listrik mencakup 25 persen dari total ongkos produksi kendaraan listrik. Laporan UBS Securities yang dirilis pada awal pekan ini, menyebutkan enam pemasok utama mengontrol 87 persen pangsa pasar global pada tahun lalu.
Besarnya tekanan dapat terlihat dengan keputusan Audi, anak usaha Volkswagen AG, untuk menunda produksi seri e-Tron mereka pada Februari 2020 dan Jaguar Land Rover Automotive Plc pada bulan yang sama untuk memundurkan produksi I-Pace karena tersendatnya suplai baterai. Keduanya menggunakan baterai EV dari LG Chem Ltd. asal Korsel.
Selain LG Chem, produsen baterai EV besar lainnya adalah Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) dan BYD. Kedua perusahaan ini berasal dari China.
Kondisi ini diperparah dengan adanya masalah logistik, penundaan produksi, dan kompetisi mendapatkan hak kekayaan intelektual.
Ford dan VW telah memperingatkan bahwa perselisihan antara LG Chem dengan SK Innovation Co., yang juga asal Negeri Ginseng, terkait rahasia dagang bisa memicu gangguan pasokan skala besar. Komisi Perdagangan Internasional AS dijadwalkan mengeluarkan putusan atas perkara ini pada 26 Oktober 2020.
Karena risikonya terlalu besar jika hanya mengandalkan satu pemasok, maka banyak produsen mobil listrik bermitra dengan beberapa produsen baterai EV sekaligus.
“Pemasok baterai bisa sangat pemilih. Hanya ada beberapa pemasok yang bisa memenuhi permintaan kualitas dan volume. Pabrikan otomotif sekarang mau tak mau mengikuti kemauan para suplier baterai ini,” kata pendiri perusahaan konsultan Battery Lab, Nathalie Capati.
Capati sebelumnya adalah seorang insinyur baterai di General Motors Co. dan Apple Inc.
Sementara itu, Kepala California Air Resources Board Mary Nichols menilai akan ada pertempuran baru dalam mengamankan pasokan baterai EV. California Air Resources Board adalah lembaga pemerintah negara bagian California, AS yang mengurusi energi bersih.
Bulan lalu, California mengumumkan rencana melarang penggunaan mobil berbahan bakar bensin.
“Perang baru sudah dimulai. Ini adalah kompetisi untuk mendapatkan baterai dengan tenaga lebih besar dan harga lebih murah, dan ini adalah perlombaan yang diikuti pabrikan otomotif di seluruh dunia,” paparnya.
SULAWESI, Episentrum Nikel Indonesia dan Masa Depan Dunia
Booming komoditi nikel mendongkrak nilai tawar Indonesia di pentas global. Betapa tidak, nikel tiba-tiba menjadi rebutan industri dunia. Bahkan komoditi mineral itu diburu oleh korporasi-korporasi global yang sedang merancang dan mempersiapkan masa depan dunia melalui industri kendaraan bebas emisi atau kendaraan berbasis elektrik.
SULAWESI saat ini menjadi episentrum nikel di Indonesia. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton). Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
“Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, dalam webinar Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia, dikutip Jumat (16/10/2020).
Indonesia sendiri telah menempatkan diri sebagai produsen bijih nikel terbesar di dunia pada tahun 2019.
Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni).
Dikuasai Perusahaan China
Saat ini, pengelolaan komoditi nikel di Sulawesi dikuasai oleh perusahaan China. Ada tiga perusahaan besar yang menjadi pemain utama nikel ini yakni; Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Berdasarkan data Kementerian ESDM, IMIP sudah menguasai 50 persen dari produksi hilir nikel di Indonesia pada 2018.
Porsi Vale menyusut jadi 22 persen dan Antam hanya 5 persen saja. Padahal, Vale masih menguasai produksi nikel dengan porsi 77 persen pada tahun 2014. Ketika itu, Antam memiliki pangsa pasar 19 persen dan perusahaan lainnya sebesar 3 persen.
Perusahaan nikel BUMN itu juga sudah dilewati oleh Virtue Dragon yang memegang porsi produksi nikel sebesar 11 persen, Harita Group 6 persen dan perusahaan lainnya sebesar 6 persen.
“Apa yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar biasa perkembangannya,” kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif.
Menurutnya, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan, baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.
Secara keseluruhan, lebih dari 90 persen produk smelter Indonesia masih berupa produk berbasis nikel pig iron (NPI).
“Perkembangan produksi smelter cukup signifikan, tetapi 99 persen atau semuanya 100 persen masih intermediate produk. 90 persen lebih adalah produk NPI,” jelas Irwandy.
Berdasarkan jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau feronikel. Sedangkan porsi nikel kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan mixed hydroxide precipitate (MHP) masih mini.
Saat ini, kebutuhan nikel global juga masih didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71 persen. Sedangkan untuk kebutuhan industri lainnya seperti baterai masih minim yakni 3 persen.
Namun, pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan, paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel dengan high pressure acid leaching (HPAL). Dari keenam smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021 mendatang.
Keenam perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.
Belum lagi, rencana holding pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik baterai integrasi.
Dengan adanya rencana pengembangan di industri hilir tersebut, investasi nikel di Indonesia diyakini akan semakin progresif. Apalagi dari sisi hulu, wilayah greenfield yang bisa dieksplorasi masih sangat luas.
“Potensi cadangan yang besar dan peluang industri hilir. Indonesia menjadi menarik untuk pengembangan investasi nikel,” imbuh Irwandy. (ATN)
Discussion about this post