ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indeks Persepsi Manufaktur atau Purchasing Manager’s Index (PMI) di Asia dan ASEAN pada Mei mulai menunjukkan perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Namun demikian, mayoritas negara di Asia masih menujukkan kontraksi produksi di sektor manufaktur.
IHS Markit mencatat hanya indeks manufaktur China yang sudah berada di atas level 50,0 atau tepatnya di posisi 50,7. Level tersebut tercatat menjadi yang tertinggi dari awal tahun.
Melansir AlJazeera, Selasa (2/6/2020), naiknya PMI China tidak tercermin pada PMI negara rekan dagangnya. Sementara PMI Jepang kembali turun ke level 38,4 dari posisi April di 41,9, sedangkan PMI Korea Selatan berada di posisi 41,3 pada Mei 2020.
Chief Economist Wilayah China Dutch Bank ING Iris Pang mengatakan permintaan global pun masih lemah. Hal tersebut, ditunjukkan dari tingginya angka pengangguran di Amerika Serika, Inggris dan negara-negara Eropa.
“Walaupun ada pelonggaran lockdown, lapangan pekerjaan di negara-negara tersebut kemungkinan tidak dapat menyerap seluruh pengangguran tersebut dalam jangka pendek. Butuh waktu panjang agar ada perbaikan,” terangnya.
Sementara di Asia Tenggara, menujukkan rata-rata PMI wilayah naik ke level 35.5 pada Mei dari posisi sebelumnya di level 30.7 pada bulan sebelumnya.
Namun demikian, perlu dicatat perbaikan PMI di seluruh negara di Asia Tenggara masih di bawah 50.0 alias masih berkontraksi.
Ekonom IHS Markit Lewis Cooper mengatakan sektor manufaktur Asia Tenggara masih lemah pada Mei.
Ia memandang penurunan kondisi produksi di Asia Tenggara merupakan salah satu yang tercepat sejak IHS Markit mencatat PMI di Asia Tenggara pada Juli 2012.
“Data Mei menekankan pada percepatan kontraksi pada hasil produksi dan pesanan baru yang berlanjut. Walaupun penurunan sektor manufaktur Asia Tenggara tidak seburuk pada April, data Mei 2020 tetap menjadi salah satu yang akan ditandai,” jelasnya keterangan pers, Selasa (2/6/2020).
Lewis mencatat data PMI di beberapa negara telah menunjukkan perbaikan seperti di Myanmar (38,9), Filipina (40.1), Vietnam (42,7), dan Malaysia (45,6). Adapun, PMI Singapura dan Indonesia tercatat masih berada di bawah level 30,0, yakni masing-masing di posisi 26,4 dan 28,6.
Lewis mengungkapkan, Singapura merupakan negara yang paling terdampak dengan indeks PMI terendah dalam 8 tahun terakhir.
Di sisi lain, minimnya PMI Indonesia pada Mei diduga karena tindakan pencegahan berkelanjutan guna membatasi penyebaran Covid-19. Pandemi Covid-19 kembali menjadi akar dari penutupan sektor bisnis non-utama, kemandekan transportasi, dan berkurangnya permintaan.
“Produksi dan permintaan baru terus turun pada kisaran parah, memaksa perusahaan mengurangi lapangan kerja dan inventaris guna menangani biaya di tengah-tengah penutupan bisnis besar-besaran. Khususnya, tingkat pengangguran tertinggi dalam catatan dilaporkan dalam survei terkini,” ujar Kepala Ekonom IHS Markit Bernard Aw.
Bernard menilai tindakan pencegahan pandemi Covid-19 menganggu rantai pasok sektor manufaktur. Alhasil, waktu pengiriman menjadi yang paling panjang sejak 9 tahun lalu.
Bernard menambahkan inspeksi pabean yang lebih ketat, kuragnya bahan baku, dan gangguan rute transportasi menjadi beberapa alsan utama penundaan pengiriman.
“Dengan pemerintah mempertimbangkan kembali membuka ekonomi secara bertahap mulai bulan Juni, PMI mungkin akan naik pada bulan-bulan mendatang, meskipun akan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk memulihkan kerugian parah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post