ASIATODAY.ID, JAKARTA – IPB University bersama Wageningen University and Research (Belanda), Van Hall Larenstein University of Applied Sciences (Belanda), dan Universitas Jambi (Indonesia) sepakat membentuk konsorsium riset bersama.
Konsorsium akan melakukan riset tentang Sustainability of Vegetable Oils to Achieving UN SDG 2030.
Staf ahli Diplomasi Ekonomi, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Ina Hagniningtyas Krisnamurthi, mengungkapkan bahwa isu-isu keberlanjutan vegetable oils saat ini masih bias serta menjadi perdebatan dalam komunitas global.
“Karena itu riset kolaboratif antara Wageningen University dan IPB University ini menjadi sangat strategis karena akan mengkaji keterkaitan isu keberlanjutan vegetable oils dengan pencapaian indikator Sustainable Development Goals (SDGs),” kata Ina dikutip dari keterangan pers, Senin (7/2/2022).
Sementara itu, Duta Besar Belanda untuk Indonesia HE Lambert Grijns menyebut penting bagi Belanda dan Indonesia untuk bekerja sama dalam melaksanakan studi terkait vegetable oils untuk mencapai SDGs 2030.
Saat ini, Belanda adalah importir terbesar kelapa sawit di Uni Eropa.
Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Belanda sangat mendukung riset ini, terutama untuk menjawab isu-isu strategis terkait dengan vegetable oils mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen dengan komoditas kelapa sawit terbesar di dunia.
“Belanda merupakan pasar urutan ke-12 untuk produk vegetable oil asal Indonesia dan pada 2020 proporsi impor Belanda dari Indonesia adalah sekitar 20,8 persen,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia dan Belanda menyadari betul isu yang menerpa kelapa sawit, khususnya berkaitan dengan isu lingkungan.
Studi dilakukan dengan menggunakan berbagai macam pendekatan untuk menilai keberlangsungan produksi vegetable oils di negara-negara produsen. Harapannya akan mengungkap kebenaran mengenai isu-isu yang diarahkan kepada negera-negara penghasil vegetable oils.
Tim riset dari Indonesia yang diwakili Prof Suria Darma Tarigan dan Tim riset dari Belanda yang diwakili Dr Maja Slingerland mempresentasikan berbagai pendekatan berikut kriteria dan indikator untuk mengkaji aspek keberlanjutan komoditas vegetable oils dan kontribusinya dalam pencapaian indikator SDGs.
Sawit Bukan Tanaman Hutan
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa sawit bukan tanaman hutan. Hal ini berdasarkan pada berbagai peraturan pemerintah, analisis historis dan kajian akademik berlapis.
”Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan dan pemerintah belum ada rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” tegas Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (Dirjen PHL) KLHK, Agus Justianto di Jakarta, Senin (7/2/2022).
Dalam Permen LHK P.23/2021 Sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Pemerintah saat ini lebih fokus untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, sehingga mengakibatkan masifnya ekspansif penanaman sawit di dalam kawasan hutan yang non prosedural dan tidak sah.
Praktik kebun sawit yang ekspansif, monokulture, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial yang harus diselesaikan.
”Mengingat hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan, dan kebun sawit telah mendapatkan ruang tumbuhnya sendiri, maka saat ini belum menjadi pilihan untuk memasukkan sawit sebagai jenis tanaman hutan ataupun untuk kegiatan rehabilitasi,” ungkap Agus.
Terkait infiltrasi sawit yang tidak sah atau keterlanjuran sawit dalam Kawasan Hutan maka penyelesaiannya dilakukan dengan memenuhi unsur-unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, sehingga penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan dampak yang terbaik bagi masyarakat serta bagi hutan itu sendiri.
Salah satunya melalui regulasi jangka benah sebagai upaya memulihkan fungsi kebun sawit rakyat monokultur menjadi kebun sawit campur dengan teknik agroforestry tertentu disertai dengan komitmen kelembagaan dengan para pihak.
Kebijakan turunan dari UUCK, yaitu Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 telah memuat regulasi terkait jangka benah, yaitu kegiatan menanam tanaman pohon kehutanan di sela tanaman kelapa sawit.
Adapun jenis tanaman pokok kehutanan untuk Hutan Lindung dan Hutan Konservasi harus berupa pohon penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan dapat berupa pohon berkayu dan tidak boleh ditebang.
Dalam peraturan ini diberlakukan larangan menanam sawit baru dan setelah selesai satu daur, maka lahan tersebut wajib kembali diserahkan kepada negara. Untuk kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan Hutan Produksi diatur diperbolehkan satu daur selama 25 tahun.
Sedangkan yang berada di Hutan Lindung atau Hutan Konservasi hanya dibolehkan 1 daur selama 15 tahun sejak masa tanam dan akan dibongkar kemudian ditanami pohon setelah jangka benah berakhir.
Jangka benah wajib dilakukan sesuai tata kelola Perhutanan Sosial, penanaman tanaman melalui teknik agroforestri yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan kondisi sosial, menerapkan sistem silvikultur atau teknik budidaya, tanpa melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit selama masa jangka benah.
”Pendekatan ultimum remedium diambil sebagai tindakan jalan tengah yang adil dan baik bagi semua pihak, termasuk untuk kelestarian hutan. UUCK juga telah memperjelas bahwa sawit bukan tanaman hutan karena ada proses menghutankan Kembali melalui jangka benah. Dengan begitu maka UUCK telah memposisikan secara jelas bahwa sawit tetap tergolong tanaman perkebunan. Ruang tanam sawit secara sah sudah ada ruang mekanismenya dan sudah terang benderang pula pengaturannya. Saat ini yang terpenting adalah bagaimana pelaksanaan PP24/2021 dapat kita kawal bersama agar efektif implementasinya, sehingga hutan bisa lestari dan rakyat tetap sejahtera” tutup Agus. (ATN)
Discussion about this post