ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia mengalami kerugian besar hingga Rp300 triliun per tahun akibat stunting dan kekurangan gizi lainnya.
Saat ini, pravelensi stunting di Indonesia tercatat di angka 24,4 persen.
“Berdasarkan kajian World Bank, kerugian ekonomi akibat stanting dan kekurangan gizi lainnya mencapai 2-3 persen terhadap total PDB sebuah bangsa. Bagi Indonesia total kerugian akibat stunting mencapai lebih dari Rp300 triliun setiap tahun,” ungkap Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin di forum Rapat Kerja Nasional ke-3 Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia Tahun 2022 yang dipantau secara daring, Sabtu (26/3/2022).
Menurutnya, dari angka 24,4 persen tersebut, pemerintah menargetkan stunting turun hingga 14 persen sampai tahun 2024.
“Artinya dalam kurun waktu 2 tahun ke depan kita harus menurunkan pravelensi stunting hingga 10 persen,” imbuh Ma’ruf.
Dikatakan, stunting mendesak untuk diatasi karena kerugian yang ditimbulkannya tidak sedikit.
Terkait kualitas sumber daya manusia (SDM) stunting menurunkan kecerdasan dan kemampuan kognitif serta terganggunya metabolisme tubuh hingga rentan terhadap penyakit tidak menular seperti jantung dan diabetes.
“Semuanya itu akan menurunkan produktivitas masa depan. Sementara keunggulan SDM adalah kunci mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan visi Indonesia maju,” jelasnya.
Ada banyak faktor yang berkontribusi pada upaya penurunan stunting.
Pertama, lingkungan terkait sanitasi dan ketersediaan minum yang layak.
“Pekan lalu saya baru saja dari Labuan Bajo membuka Asia Interantional Water Week. Kedua, di forum tersebut saya tekankan bahwa ketersediaan air bersih bagi ibu hamil, bayi dan balita akan berdampak 70 persen pada penurunan stunting. Oleh karena itu, akses pada layanan air minum dan sanitasi sewajarnya menjadi prioritas dalam percepatan penurunan stanting,” ujarnya.
Sebagaimana diamanatkan dalam peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, menurut Ma’ruf pemerintah telah menargetkan pada 2024 sebanyak 100 persen rumah tangga mempunyai akses terhadap air minum layak dan 90 persen rumah tangga memperoleh akses terhadap sanitasi layak.
“Namun yang perlu menjadi evaluasi bersama tren cakupan layanan keduanya nyatanya masih perlu didorong intensif,” imbuhnya.
Ma’ruf mengatakan dalam 3 tahun terakhir cakupan air minum layak hanya naik 1,5 persen dan sanitasi layak hanya naik 2,9 persen.
“Sehingga saat ini rumah tangga yang dengan akses air minum layak baru 90,7 persen dan akses terhadap sanitasi layak sekitar 80,2 persen. Kinerja ini harus segera ditingkatkan karena kita hanya punya sisa waktu 2 tahun untuk mencapai target tahun 2024,” pungkasnya. (ATN)
Discussion about this post