ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) segera menginvestigasi kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel Indonesia yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, kebijakan yang tidak konsisten tersebut dinilai menciptakan ketidakpastian bagi pengusaha nikel.
Memulai rangkaian investigasi, komisioner Ombudsman RI, Laode Ida telah bertemu dengan jajaran dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Kementerian Perdagangan. Rencananya pekan depan Laode Ida akan mengajukan usulan untuk menginvestigasi kebijakan tersebut.
“Minggu depan kami ajukan ini ke pimpinan untuk dijadikan satu alasan kajian khusus. Kami akan lanjutkan melalui investigas khusus soal dampak kebijakan ini,” terang Laode Ida dalam keterangan tertulis di Kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, yang diterima Sabtu (16/11/ 2019).
Menurut Laode Ida, investigasi akan dilakukan pada empat kementerian dan lembaga (k/l) terkait diantaranya Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Investigasi meliputi perencanaan kebijakan percepatan hingga kewenangan k/l terkait kebijakan tersebut.
Laode Ida memandang, dalam keputusan kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel yang terbaru, sangat tidak tepat diambil alih oleh BKPM yang wewenangnya mengurusi investasi, bukan perdagangan. Ia menilai gonta-ganti kebijakan ini merugikan pengusaha nikel.
Laode Ida menegaskan, investigasi tersebut diharapkan bisa dituntaskan pada pertengahan Desember. Investigasi tersebut dimaksudkan untuk melihat apakah kebijakan yang diambil telah sesuai kaidah yang ada. Nantinya hasil investigasi akan diserahkan ke Presiden.
“Saya kira tindakan kolektif dulu yang akan kami sampaikan pada kementerian yang mengeluarkan kebijakan dan yang terkait, yang begitu aktif mengadvokasi kebijakan ini,” jelas dia.
Lebih lanjut, dirinya mengatakan, nantinya investigasi tersebut bisa menganulir kebijakan yang berlaku. “Bisa sampai ke sana karena kita berharap pemerintah selalu berdasar asas kepastian hukum,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengumumkan percepatan larangan ekspor bijih nikel akan mulai berlaku sejak Selasa, 29 Oktober 2019. Percepatan tersebut, kata Bahlil, merupakan kesepakatan yang terbentuk dari pertemuan antara dirinya bersama pengusaha nikel Indonesia.
Adapun revisi teranyar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 tahun 2019 mengamanatkan batas waktu terakhir untuk ekspor bijih nikel yakni akhir Desember 2019. Artinya pada awal Januari 2020 para pengusaha dilarang untuk mengekspor.
Aturan ini merupakan perubahan dari aturan sebelumnya yang mengamanatkan larangan ekspor baru akan berlaku pada awal Januari 2022.
“Hari ini secara formal kesepakatan bersama antara asosiasi dan pemerintah terkait ekspor ore yang harusnya selesai di 2020, enggak lagi lakukan ekspor,” terangnya.
“Ini hari terakhir, jadi nanti mereka (para pengusaha) pulang minta kapal (pengangkut ekspor) mereka enggak usah berangkat,” kata Bahlil di kantor BKPM, Jakarta Selatan, Senin, 28 Oktober 2019.
Bahlil mengatakan kesepakatan tersebut dibuat tanpa harus mengubah kembali aturan yang berlaku saat ini. Dia mengatakan tujuannya tidak lain yakni untuk membuat Indonesia menjadi negara yang lebih berdaulat guna mengelola hasil-hasil buminya demi mendapatkan nilai tambah.
“Kita tidak mengubah aturan. Ini atas dasar kesadaran sesama anak bangsa. Kalau kita ekspor ore negara rugi terus. Kemudian dengan dilarang ada nilai tambah,” tandasnya.
Kemudian pada Selasa sore (12/11/2019), Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) bersama pengusaha smelter dan pengusaha tambang nikel Indonesia kembali menyatakan kesepakatan bersama untuk menghentikan ekspor ore nikel.
Kesepakatan ini lahir dari pertemuan yang dipimpin Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bersama 47 perusahaan smelter dan perusahaan tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) di kantor BKPM Jakarta, Selasa sore (12/11/2019).
Bahlil menekankan bahwa, sikap ini adalah komitmen anak bangsa atas dasar rasa ‘cinta tanah air’.
“Bersama-sama kita akan dukung program Pemerintah dalam hilirisasi industri. Perusahaan nikel tidak akan melakukan ekspor, maka ore-nya akan dibeli oleh perusahaan smelter. Harga ore dengan kadar dibawah 1,7 yang akan terima oleh perusahaan smelter maksimal US$ 30 per metrik ton,” terang Bahlil dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Bahlil, harga tersebut sudah melalui perhitungan yakni harga internasional dikurang biaya pengapalan (transhipment) dan pajak dengan minimum harga USD27 per metrik ton dan maksimal USD30 per metrik ton. Harga tersebut berlaku hingga 31 Desember 2019.
“Hitunganya kurang lebih sekitar USD30 per metrik ton, dan itu semua sepakat,” jelas Bahlil.
Bahlil menjelaskan, dari 37 pengusaha nikel yang memiliki izin ekspor, pemerintah telah mengevaluasi sebelas perusahaan dan yang berhak melakukan ekspor nikel sampai saat ini sembilan perusahaan, sementara dua perusahaan lainnya masih dalam proses.
Artinya ada 26 perusahaan yang belum mendapatkan kepastian ekspor. Menurut Bahlil, perusahaan-perusahaan yang belum mendapatkan kepastian ekspor tersebut berpeluang menjual nikel ke perusahaan smelter dengan harga yang telah disepakati.
“Sedangkan sisanya 26 perusahaan saya anggap hanya mau diserap dalam negeri karena belum konfirmasi ke saya,” ujarnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post