ASIATIDAY.ID, JAKARTA – Pengamat sektor perikanan dan Kelautan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan bahwa visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia perlu terus diperjuangkan tetapi bukan dengan menjadikan sumber daya laut sebagai mesin uang atau ATM pembangunan semata.
“Pemerintah terlampau outward looking dengan menjadikan sumber daya laut sebagai ATM pembangunan, tanpa mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan di dalam negeri,” ujar dia melansir Antara, Minggu (24/5/2020).
Halim mengungkapkan, contoh dari hal tersebut adalah regulasi yang membolehkan ekspor benih lobster. Padahal, pembangunan kemaritiman yang bertumpu kepada prinsip-prinsip keberlanjutan terhadap sumber daya laut tersebut.
“KKP mesti mencabut atau melakukan revisi terbatas terhadap Permen Nomor 12/2020 yang membolehkan ekspor benih lobster,” katanya.
Halim memandang, setiap kebijakan guna mencapai Poros Maritim Dunia harus mengutamakan masyarakat perikanan skala kecil.
Sebagaimana diwartakan, Pemerintah jangan sampai melupakan visi untuk mewujudkan Poros Maritim Dunia karena dalam kondisi apapun seperti terpapar pandemi covid-19, Indonesia tetap selalu memiliki potensi yang besar dalam mencapainya.
“Kalau mau bangkit, geopolitik, strategi dan ekonomi ini mampu menghasilkan yang namanya, kita masih ingat janji politik Pak Jokowi, yaitu poros maritim dunia,” kata Ketua Bidang Pekerja, Petani dan Nelayan DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Riyono.
Menurut dia, saat ini konsep poros maritim dunia sepertinya telah menjadi suara yang sudah redup-redup terdengar dibanding sebelum-sebelumnya. Padahal, lanjutnya, Indonesia sendiri terletak secara geostrategis yaitu berada di perempatan jalan maritim dunia.
“Indonesia memiliki geopolitik di perempatan jalan dunia dan memiliki peran kunci bagi kelancaran jalan laut dunia,” kata Riyono.
Ia berpendapat bahwa konsep geopolitik ini bisa menjadi geoekonomi apabila mampu memaksimalkan kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi masyarakat nasional.
Riyono memberikan contoh kecil seperti di Iran yang mampu menjadikan Selat Hormus sebagai senjata geopolitiknya, di mana setiap 10 menit terdapat kapal tanker lewat yang 40 persen dari kapal impor minyak dunia dan 90 persen dari kapal ekspor negara Arab.
Sedangkan Indonesia, masih menurut dia, memiliki empat selat yang memiliki kesibukan yang luar biasa dari aktivitas internasional, yaitu selat Makassar, Selat Sunda, Selat Malaka, dan kemudian Selat Lombok.
“Tiap tahun hampir 40-60 persen perdagangan dunia ini melalui perairan kita,” ucapnya. Untuk itu, Riyono mengajak agar hal tersebut menjadi modal untuk berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. (ATN)
Discussion about this post