ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dalam sejarah maritim dunia, Indonesia dan pulau-pulaunya memainkan peran ekonomi yang signifikan karena posisinya yang strategis di ‘Jalur Rempah dan Sutra Laut’. Salah satunya yakni Kepulauan Maluku, yang menjadi incaran para pemburu ‘Holy Grail’ rempah eksotik, langka, dan bernilai sangat tinggi di pasar dunia, para penjelajah dan petualang, serta saudagar Renaisans Eropa dan China.
Dalam serangkaian riset yang diprakarsasi Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) melalui Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP), Pusat Riset Kelautan (Pusriskel), ditemukan Warisan Budaya Maritim dan Bawah Air Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Dua situs bawah air yang berhasil ditemukan yakni Situs Soasio dan Situs Tongowai.
“Situs Soasio terletak di Tanjung Soasio, dengan posisi tepat di seberang Benteng Tahula yang merupakan benteng pertahanan Spanyol yang digunakan hingga tahun 1662. Situs ini secara administratif bagian dari Kelurahan Soasio, Kecamatan Tidore. Situs bawah air Soasio berada di kedalaman 15-20 meter. Jarak Situs Soasio sangat dekat dari jalan utama yaitu sekitar 100 meter dan para penyelam dapat mengakses situs dengan mudah dengan beach entry dari area Langgar Kota Maalu di bawah Benteng Tahula, melalui Giant Step Diving dari area pemancingan warga, atau menggunakan perahu dari pelabuhan nelayan,” jelas Nia Naelul Hasanah, Kepala LRSDKP, dikutip Rabu (5/1/2022).
Beberapa artefak ditemukan terkubur di dasar laut dan beberapa terletak di permukaan dasar laut yang ditutupi oleh terumbu karang. Temuan sampel artefak keramik dari Soasio berupa fragmen piring dan mangkok keramik biru putih dari China dari masa Dinasti Ming, yaitu dari masa pemerintahan Kaisar Wanli (1572-1620), 1 piring utuh bermotif flora fauna diproduksi di Swatouw, China Selatan masa Kaisar Wanli, dan 1 jenis keramik dari masa Kaisar Tianqi (1620-1627) bermotif seorang pemusik dengan alat musik tradisional yang biasanya diekspor oleh China ke Jepang. Selain itu, terdapat keramik putih polos berbentuk mangkok dan piring.
“Untuk Situs Tongowai, terletak di Kelurahan Tongowai, Kecamatan Tidore Selatan. Situs Tongowai terletak di kedalaman 30-42 meter dengan visibility jernih 10-25 meter. Temuan artefak berupa sebuah meriam dan sejumlah fragmen guci gerabah. Meriam besi yang tampak utuh ditemukan di kedalaman 37-42 meter. Meriam saat ini terkubur lebih dari setengah ukurannya dalam posisi miring sekitar 6o° dengan mulut meriam menghadap ke timur. Beberapa bagian meriam telah tertutup sedimen. Situs Tongowai sangat mudah diakses oleh penyelam dan dapat diakses dengan menggunakan perahu maupun langsung dengan Beach Entry dari belakang perumahan penduduk di Kelurahan Tongowai,” terang Nia.
Melalui temuan situs peninggalan bawah laut di Soasio dan Tongowai serta keberadaan beberapa landmark bersejarah di Tidore, serta situs pendaratan kapal Trinidad dan Victoria yang merupakan 2 dari 5 armada kapal Spanyol yang dipimpin Ferdinan Magellan dan Juan Sebastian Elcano dalam Ekspedisi Menjelajahi Bumi yang Pertama di Pantai Rum, semakin membuktikan secara fisik, bahwa Kota Tidore berperan penting sebagai Kosmopolis Rempah Nusantara dan titik sentral dalam jaringan pelayaran dan perdagangan internasional di Jalur Rempah dan Jalur Sutra Laut yang menghubungkan dunia timur dan barat yang berkontribusi besar bagi sejarah maritim Indonesia dan dunia.
Dalam penelitian Syahruddin Mansyur, tertang Arkeologi Maritim: Kajian Awal untuk Pengembangan, potensi sumberdaya budaya maritim Kepulauan Maluku telah dikemukakan oleh Mundardjito (2002), yang digolongkan dalam tiga golongan yaitu : (1) Benda-benda arkeologis, baik yang berada di dasar laut maupun pesisir yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan seperti kapal beserta peralatannya (artefak), pelabuhan, dermaga (featur) dan hasil bumi, bentuk-bentuk permukaan bumi yang digunakan sebagai acuan pelayaran (ekofak). (2) Benda-benda arkeologis yang bernilai sejarah tetapi belum dilindungi oleh perundang-undangan, diantaranya naskah atau dokumen tertulis. (3) Masyarakat yang hingga kini masih hidup dan benda-benda buatan manusia yang berperan dalam kehidupan mereka.
Potensi sumberdaya arkeologi maritim Kepulauan Maluku sangat terlilihat berdasarkan profil wilayahnya yang secara astronomis terletak pada 3°LU, 8°.20’ LS, 124° BT dan 135° BB. Wilayah ini diapit oleh pulau Sulawesi di bagian barat dan pulau Irian di bagian timur serta dari utara oleh negara Philipina dan Timor-timur di bagian selatan.
Menurut Ambary (1998:150), wilayah Maluku pada umumnya menonjolkan beberapa fenomena mendasar, yakni:
Dari segi zoogeografi, wilayah ini merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna yakni Wallcea dan Weber (Bellwood, 1978:37)
Dari segi geolinguistik, wilayah kepulauan Maluku umumnya dianggap sebagai bagian dari tanah asal suku-suku bangsa pemakai bahasa-bahasa Austronesia (Andili, 1980)
Dari segi geokultural, wilayah ini merupakan lintasan strategis migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, Oceania dan ke arah timur (Shutler dan Shutler, 1975: 8-10), yang diikuti oleh perkembangan budaya wilayah timur sejak ribuan tahun lalu.
Dari segi ekonomi, wilayah ini pada umumnya merupakan wilayah penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz,1962:93-100).
Dengan demikian, wilayah kepulauan Maluku yang terdiri dari ribuan pulau dan dipisahkan oleh lautan menjadi potensi yang dapat dikembangkan dalam hal kajian kemaritiman.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di wilayah ini memperlihatkan bahwa budaya maritim telah dikenal sejak jaman prasejarah.
Berikut gambaran tentang budaya maritim di Kepulauan Maluku:
Periode Prasejarah
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan budaya maritim yang pernah ada dan berkembang di wilayah ini, dapat diidentifikasi telah berlangsung sejak adanya persebaran bangsa dari daratan Asia ke bagian barat dan timur bahkan sampai Pasifik. Persebaran bangsabangsa dari Asia daratan kemudian membawa budaya beliung persegi.
Hal yang menarik dari adanya migrasi ini adalah dikenalnya teknologi perahu cadik. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa penelitian terhadap lukisan dinding gua di wilayah Maluku memiliki persamaan dengan lukisan dinding gua yang ada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Irian bahkan Pasifik (Haris Sukendar, 2001). Pada masa megalitik dikenal pula sistem religi berkenaan dengan keberadaan sebuah perahu, disebutkan bahwa orang yang telah meninggal kemudian dikubur pada wadah perahu dengan maksud bahwa perahu tersebut digunakan oleh sang arwah menuju dunia selanjutnya. Di Maluku Tenggara ditemukan pula pagar batu (dwala) berbentuk perahu dan sebuah susunan batu yang digunakan sebagai tempat upacara oleh masyarakat di desa Maluku Tenggara.
Periode Klasik
Sumber sejarah berupa naskah kuno menyebutkan wilayah Kepulauan Maluku diantaranya; Gurun/Maluku, Wu nu ku/Maluku, dan Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan, Seran/Seram, Ambwan/Ambon, Wanda/Banda. Periode ini dikenal dengan masa kejayaan Majapahit, dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa wilayah Kepulauan Maluku berada di bawah kekuasaaan kerajaan Majapahit. Dengan demikian, kontak dengan dunia luar telah berlangsung pada periode ini dengan adanya perahu cadik ganda seperti yang ada pada reliefrelief candi Borobudur (HarisSukendar,2001).
Temuan-temuan yang membuktikan hal ini adalah arca Perwujudan di Ternate dan makam seorang Panglima kerajaan Majapahit di Maluku Tenggara yang sebelumnya telah menetap dengan membawa pengaruh Hindu-Budha di wilayah ini.
Periode Islam
Masuk dan berkembangnya budaya Islam di Kepulauan Maluku sangat didukung oleh kegiatan perdagangan/pelayaran antar pulau yang mulai ramai sejak berkembangnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada masa sebelumnya (Klasik). Bahkan tradisi lisan menyebutkan bahwa kontak tidak hanya dengan para pedagang nusantara tetapi juga para pedagang Arab telah berlangsung sejak abad XIV yang kemudian memperkenalkan agama Islam. Pelabuhanpelabuhan tradisional yang ada pada masa itu yang mendukung kegiatan pelayaran/perdagangan diantaranya Hitu (pulau Ambon), Iha (pulau Saparua Ternate), Tidore, Bacan dan Jailolo (Maluku Utara).
Kepulauan Maluku sebagai penghasil rempah-rempah sangat menarik para pedagang untuk datang sekaligus membawa jenis-jenis produk lain untuk ditukarkan.
Periode Kolonial
Perdagangan antar pulau yang telah dirintis pada periode sebelumnya sekaligus menarik bagi para pedagang dari luar, tidak terkecuali bangsa Eropa. Pada awalnya penjelajahan mereka ke nusantara dengan tujuan ekonomi dan penyebaran agama. Akan tetapi melihat sumber daya alam yang dimiliki wilayah ini akhirnya berusaha untuk dikuasai dan dieksplorasi. Jalur-jalur pelayaran yang telah dirintis kemudian semakin ramai, penelitian yang ada menunjukkan bahwa wilayah Kepulauan Maluku sarat dengan tinggalan yang berasal dari periode kolonial. Hampir seluruh kota yang ada di Maluku
dan Maluku Utara menjadi kota-kota penting pada periode ini. Hal ini tidak lepas dari strategi dagang yang diterapkan, daerah-daerah yang menjadi kantong produksi dikuasai untuk memudahkan pengawasan.
Sementara itu dikembangkan pula daerah pengumpul untuk kemudian dikirim ke Eropa yaitu Ternate, Ambon dan Banda. Selanjutnya, pembangunan benteng-benteng pertahanan pada periode ini selalu ditempatkan di daerah pesisir. Hal ini, bila dikaitkan dengan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa koloniaol dapat disebut sebagaui strategi/taktik perang maritim.
Potensi lain sehubungan dengan arkeologi bawah air berupa kapal-kapal karam yang membawa berbagai macam barang dagangan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Departemen Eksplorasi Laut dan Perairan (sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP) menyebutkan bahwa potensi kelautan non hayati Indonesia sekurangnya terdapat 463 lokasi kapal karam antara tahun 1508 sampai dengan tahun 1878 yang sebagian besarnya adalah kapal dagang VOC (Soesilo, 2000). Untuk dapat menelusuri perlu dikemukakan jalur-jalur pelayaran yang ramai pada saat itu.
Cortesau (1944) mengemukakan bahwa jaringan perdagangan barat-timur menciptakan dua jalur pelayaran penting. Pertama adalah jalur pelayaran dari Malaka menyusuri pesisir utara pulau Sumatera, Jawa terus ke Nusa Tenggara hingga pulau Flores dan berlayar memasuki Maluku bagi yang mencari rempah-rempah dan yang mencari kayu cendana memasuki perairan Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Timor dan Sumba. Pelayaran balik pula mengikuti jalur yang sama.
Jalur lain, menurut catatan Tome Pires, selain jalur itu terdapat pula jalur dari Malaka ke Tanjungpura ke Makassar dan selanjutnya melalui Buton sebelum menuju ke Maluku dan kembali dengan jalur yang sama (Cortesau, 1944:226 dalam Poelinggomang, 2001:3).
Gambaran lain ditampilkan oleh Hall dalam mendeskripsikan pelayaran pelaut dan pedagang Jawa ketika zona perdagangan Laut Jawa berada dalam hegemoni Majapahit. Diungkapkan bahwa pelayaran dilakukan dari Jawa dengan menelusuri pesisir utara pulau-pulau di Nusa Tenggara hingga memasuki Maluku dan kembali dengan menelusuri jalur utara hingga Makassar. Sebelum ke Malaka berlayar ke Jailolo (zona perdagangan Laut Sulu) dan kemudian menyusuri pesisir timur Kalimantan dan terus ke Malaka dan baru kembali ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa pada awal muson barat laut.
Gambaran ini menempatkan jalur selatan dari jaringan perdagangan barat-timur menjadi jalur ke Maluku dan jalur balik menggunakan jalur utara dari perdagangan itu (Poelinggomang, 2001: 4).
Selain jaringan perdagangan itu terdapat pula jaringan perdagangan lain untuk memudahkan disebut jaringan perdagangan utara-selatan. Jaringan ini dimungkinkan oleh adanya muson utara dan muson tenggara. Namun demikian jaringan ini terpusat pada perdagangan China. Sejak periode-periode awal pedagang China telah memasuki zona perdagangan Laut Jawa. Terdapat tiga jalur penting dalam jaringan perdagangan ini: pertama dari China menyusuri pesisir barat Kalimantan terus ke Jawa, kedua melalui Selat Makassar terus ke Nusa Tenggara dan yang terakhir melalui Sulu ke pesisir utara Sulawesi terus ke Ternate dan memasuki Maluku (Poelinggomang,2001:5).
Sementara titik yang diduga sebagai lokasi kapal karam di wilayah Maluku, yaitu perairan Halmahera, Tidore dan Bacan 16 lokasi, perairan Morotai 7, perairan Ambon-Buru 13 dan perairan Arafura 57 lokasi (Kompas, 2000). Kapal-kapal ini memuat berbagai jenis komoditi dan barang berharga lainnya berupa keramik China, dari berbagai jenis dan dinasti, meriam-meriam, potongan emas, perak, mata uang dan lain-lain.
Dengan segala kekayaan sejarah ini, pengembangan arkeologi maritim di wilayah Kepulauan Maluku menjadi sangat strategis, salah satunya wisata bahari kelas dunia. (ATN)
Discussion about this post