ASIATODAY.ID, YOGYAKARTA – Maraknya penjualan benda cagar budaya yang disinyalir diperoleh secara illegal di luar negeri, kini menjadi sorotan serius. Pasalnya, benda cagar budaya tidak hanya mengandung nilai sejarah, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Sejalan dengan arahan Presiden RI mengenai Making Indonesia Economy 4.0, kebijakan di bidang pelindungan cagar budaya seyogyanya diarahkan selain untuk menjamin kepastian hukum, perlu ditargetkan untuk mensejahterakan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, pengembalian benda cagar budaya dari luar negeri adalah amanah nasional yang perlu dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia.
“Karena itu, perumusan legal consideration menjadi penting untuk menetapkan perlu tidaknya ratifikasi Konvensi pelindungan cagar budaya yang terkait,” tegas Dr. iur. Damos Dumoli Agusman, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional/HPI Kementerian Luar Negeri RI saat menyampaikan keynote speech pada kegiatan Pelindungan Cagar Budaya: Pengembalian Benda Cagar Budaya di Yogyakarta, Rabu (13/11/ 2019) disitat dari laman Kemlu, Kamis (14/11/2019).
Damos mengungkapkan contoh cultural-based economy yang merupakan basis ekonomi kreatif, dapat menjadi motor penggerak perekonomian negara-negara lain.
“Untuk itu, dipandang perlu peningkatan pemahaman masyarakat Indonesia atas pentingnya pelindungan benda cagar budaya, termasuk pengembalian benda cagar budaya di luar negeri,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada memandang, Pemerintah Indonesia sudah waktunya menentukan posisi mengenai rencana ratifikasi UNESCO Convention on the Means of Prohibiting and Preventing the Illicit Import, Export and Transfer of Onwership of Cultural Property (Konvensi 1970 UNESCO) dan UNIDROIT Convention on Stolen or Illegally Exported Cultural Objects (Konvensi 1995 UNIDROIT).
“Urgensi ini dipicu oleh Undang-undang RI Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya dan Undang-undang RI Nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mensyaratkan perlunya pelindungan benda cagar budaya termasuk pemulangan/repatriasi benda tersebut,” tegasnya.
Sedangkan Dr. Wahyu Yun Santoso, pakar hukum publik internasional Universitas Gadjah Mada, mendukung pemikiran tersebut dengan menekankan bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku perlu diperbarui dengan mengacu pada kasus-kasus terakhir mengenai pencurian benda cagar budaya.
Lefianna Hartati Ferdinandus, Direktur Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya, menggarisbawahi bahwa pertemuan Pelindungan Cagar Budaya ini merupakan tindak lanjut dari Focus Group Discussion/FGD Pelindungan Cagar Budaya yang diselenggarakan pada tahun 2018.
FGD yang dihadiri wakil dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah dan akademisi memandatkan Kementerian Luar Negeri untuk menyusun standar operasional prosedur/SOP dalam rangka pengembalian benda cagar budaya.
Disampaikan bahwa di tahun 2018, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyaksikan penyerahan lima artefak Indonesia dari Australia kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lima artefak terdiri dari tiga tengkorak Suku Dayak dan dua tengkorak Suku Asmat yang diselundupkan ke Australia.
Pertemuan Pelindungan Cagar Budaya 2019 dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI, Arsip Nasional RI dan wakil unit terkait di Kementerian Luar Negeri serta akademisi Universitas Gadjah Mada.
Di akhir pertemuan, peserta pertemuan Pelindungan Cagar Budaya menyampaikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri atas tindak lanjut pembahasan pelindungan cagar budaya dan perumusan dokumen Standar Operasional Prosedur pengembalian benda cagar budaya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post