ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia tengah bersiap untuk memperjuangkan Sawit di forum sidang World Trade Organization (WTO) melawan Uni Eropa yang dijadwalkan akhir Januari 2020.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, tim Indonesia sudah siap mematahkan kebijakan Uni Eropa terkait kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE yang telah mendiskriminasikan kelapa sawit.
“Kami menentang diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia. Kami sudah menyiapkan daftar pertanyaan-pertanyaan yang menjadi tuntutan kami ke WTO,” kata Jerry saat dihubungi Kamis (09/01/2020).
“Dari pertanyaan-pertanyaan itu, kami akan fokus terhadap hal-hal yang sifatnya sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian-perjanjian dagang dan fokus ke dalam materi dan substansi kepada apa saja yang dilanggar, yaitu diskriminasi,” lanjut Jerry.
Menurut Jerry, pada 14 Januari 2020, tim Indonesia akan memasukan daftar pertanyaan tersebut ke WTO. Kemudian tim akan terbang ke Jenewa, Swiss, untuk mengikuti proses awal yakni konsultasi dengan Uni Eropa untuk mendapatkan klarifikasi dan fakta komprehensif pada 28-29 Januri 2020.
“Kick off itu tanggal 30 Januari 2020 sampai 31 Januari 202. Sebelumnya kami akan rapat kembali di Jenewa untuk menguatkan semuanya,” jelas Jerry.
Namun, Jerry mengakui pihaknya juga akan berkonsultasi dengan UE. Hal ini perlu dilakukan sesegera mungkin lantaran tekanan dari UE terhadap komoditas kelapa sawit semakin gencar.
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati menambahkan pihaknya juga akan melibatkan tim kuasa hukum dari dalam negeri untuk mengawal tim kuasa hukum internasional sebagai upaya pembelajaran.
“Tim kuasa hukum internasional itu juga harus dikawal oleh tim lawyer dalam negeri sebagai proses pembelajaran. Sehingga kami melakukan bidding juga di dalam negeri. Sehingga membutuhkan waktu. Jadi setahun bisa selesai,” jelas Pradnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung menambahkan UE akan memasang tarif impor sekitar 8-18 persen biodiesel sawit dari Indonesia mulai Januari 2020. Tarif impor berupa pungutan impor ( import levy) ini oleh EU sebagai anti subsidi biodiesel sawit Indonesia.
Kebijakan pungutan ekspor CPO yang kemudian sebagian digunakan untuk membiayai mandatori B20 menjadi B30, fasilitas dikawasan berikat, dituding sebagai subsidi biodiesel sawit.
“Tudingan subsidi biodiesel sawit oleh EU yang demikian bukan hal yang baru. Tudingan serupa tahun 2013 juga dilakukan EU dan tidak terbukti melalui gugatan RI di WTO,” kata Tungkot.
Lebih lanjut, Tungkot mengakui EU saat ini sedang galau karena sikapnya yang selalu mendua. Ingin menurunkan emisi, tapi tidak mau menurunkan kesejahteraan. Ingin minyak nabati impor yang sertifikasi sustainable, minyak rapeseed sendiri tidak ada sertfikasi sustainable.
“Bahkan produksi CSPO ( CPO yang sustainable) hanya 40 persen terserap EU. Ingin mengganti fosil fuel (karena kotor) dengan biofuel, tapi takut ketahanan pangan EU terganggu ( food-fuel trade off),” terang Tungkot.
Solusi EU untuk atasi trade off tersebut, menurut Tungkot adalah impor biodiesel seperti biodiesel sawit. Ini juga dipersoalkan karena kehadiran biodiesel sawit di EU mendesak biodiesel rapeseed dari EU sendiri.
“Maka, dirancanglah kebijakan menghadang masuknya biodiesel sawit ke EU. Mulai dari non tarif barrier ( dikaitkan dengan deforestasi, ILUC) hingga tarif impor. EU tuduh biodiesel sawit RI dumping karena disubsidi, pada hal kebun rapeseed dan biodiesel rapeseed EU juga disubsidi baik subsidi langsung maupun subsidi tak langsung,” papar Tungkot.
“EU menuduh sawit high risk, sebetulnya EU sendiri high risk dengan sikapnya yang mendua dan inkonsisten. Ketidakpastian (uncertainty) kebijakan jauh lebih berisiko dalam perdagangan dunia,” lanjut Tungkot.
Tungkot menegaskan, manfaat perdagangan (gain trade) yang melatarbelakangi WTO hanya mungkin terjadi dengan prinsip win win. EU juga mengekspor produknya ke Indonesia seperti Air Bus, maka EU juga sebaiknya tidak menghambat ekspor minyak sawit termasuk biodiesel Indonesia ke EU.
“Jadi pertikaian perdagangan (trade war) akan melahirkan kerugian bersama baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post