ASIATODAY.ID, JAKARTA – Dengan segala potensi riset dan inovasi Indonesia saat ini, pengembangan baik dalam bentuk produk penelitian maupun karya tulis ilmiah masih perlu digalakkan.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko, menyebut bahwa saat ini produktifitas riset Indonesia masih rendah. Dalam hal ini Handoko menyampaikan, upaya meningkatkan produktifitas riset dan inovasi Indonesia sangat memerlukan ketersedian sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
“Produktivitas riset kita masih rendah. modal utama riset dan inovasi adalah SDM, bukan anggaran dan infrastruktur meskipun keduanya tidak kalah penting,” ujar Handoko dikutip Sabtu (30/1/2021).
Menurut Handoko, alokasi anggaran dari pemerintah bukan lagi menjadi soal.
“Berdasarkan standar UNESCO, tanggung jawab pemerintah untuk mengalokasikan belanja litbang nasional sudah tercapai, yaitu 1 persen PDB (Produk Domestik Bruto),” ungkapnya.
Handoko memandang peningkatan produktifitas riset nasional terganjal peran dan kolaborasi pihak industri.
“Yang masalah, kita masih belum berhasil menarik belanja litbang dari non pemerintah. Rendahnya kontribusi swasta/eksternal dalam kegiatan riset membuktikan akan rendahnya kapasitas dan kompetensi riset Indonesia,” sambung Handoko.
Dunia telah mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dahulu, seluruh pengembangan riset dan inovasi berawal dari produsen perdagangan.
Selanjutnya, pada era 1970 – 1990an produsen manufaktur banyak beralih menjadi berbasis teknologi, hingga berkembang menjadi produsen virtual berbasis teknologi seperti saat ini.
“Lima atau tujuh tahun lalu tidak ada yang membayangkan Go-Food. Kekuatan industri sudah beralih ke kreatif industri. Itu yang harus kita pahami bagaimana mengatur aktifitas riset,” tutur Handoko.
Handoko menguraikan karakter pengembangan produk saat ini adalah individualis, faktor teknologi pengungkit semakin dominan, non-manufaktur, jangka waktu hidup pendek dengan margin besar dan padat kreativitas.
“Kita di level riset dan inovasi harus fokus pada product development yang basisnya adalah teknologi fungsi. Peneliti adalah pencipta teknologi pengungkit,” terang Handoko.
Untuk dapat bersaing dan mengatasi iklim kompetisi yang ada, Handoko menegaskan agar pelaku riset tidak terfokus pada end product.
“Karena end product itu melibatkan berbagai komponen dalam suatu sistem yang mengandung banyak risiko. Dalam konteks itu, disinilah kolaborasi itu penting, karena kita perlu meminimalisir risiko,” ucapnya.
Selain itu, proses manajemen riset pun harus mengedepankan Hak Kekayaan Intelektual dan berbasis kebaruan. Riset merupakan proses menciptakan kebaruan secara ilmiah yang menjadi jembatan pelaku riset dan tuntutan eksternal melalui alternatif solusi yang dapat dibuktikan secara ilmiah. (ATN)
Discussion about this post