ASIATODAY.ID, JAKARTA – Melalui Kesepakatan Paris (Paris Agreement), Indonesia merencanakan target pengurangan emisi karbon dalam Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
Kebijakan pembangunan rendah karbon telah tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
“Bagaimana cara Indonesia menurunkan emisi karbon di sektor energi adalah pertanyaan besar,” terang peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Max mengungkapkan, sektor-sektor yang menggunakan energi merupakan penyumbang terbesar emisi karbon dari total emisi gas rumah kaca Indonesia.
“Indonesia mencatat peningkatan emisi karbon dioksida sebesar 18 persen sepanjang tahun 2012 sampai 2017 karena meningkatnya emisi dari pembangkitan listrik, industri, dan transportasi,” terang Max.
Menurut Max, ada lima tantangan utama dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia.
“Sektor energi masih terjebak pada sumber karbon intensitas tinggi. Tahun 2018, 91 persen proporsi bauran pasokan energi primer masih berbasis energi fosil,” jelasnya. Dirinya menjelaskan, energi terbarukan belum berkembang seperti yang diharapkan.
Fakta berikutnya adalah pertumbuhan jumlah kendaraan di sektor transportasi sangat tinggi.
“Namun hal tersebut tidak diimbangi konsumsi BBM ke arah RON yang lebih tinggi bahkan potensi subsidi BBM akan meningkat,” jelasnya.
Max mengungkapkan, jika setengah saja anggaran subsidi digunakan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan biaya investasi sekitar 1.210/KW, maka bisa terbangun sekitar 29 GW atau sedikit lebih besar dari beban puncak pulau Jawa sebesar 27 GW.
Sementara tantangan berikutnya meliputi aspek sosial dan budaya, tata kelola yang belum berjalan secara layak, serta belum optimalnya pembiayaan perubahan iklim dari sumber dalam negeri.
“LIPI memberikan rekomendasi kebijakan dari aspek aktor, prosedur, dan pembiayaan,” ungkap Max.
Dari segi aktor, perlu untuk memberikan literasi pembangunan rendah karbon serta nilai atas jasa lingkungan dan tanggung jawab dalam pelaporan emisi gas rumah kaca.
Di segi prosedur, perlu insentif dan disinsentif berbasis emisi karbon serta optimalisasi diplomasi hijau.
”Sedangkan di aspek pembiayaan, diperlukan dana transfer berbasis komitmen lingkungan, pembangunan pasar karbon nasional, juga pengarusutamaan pembiayaan rendah karbon dalam berbagai instrumen,” tutup Max. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post