ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia kini harus menghadapi tekanan badan-badan internasional sebagai dampak dari kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2020 lalu.
Dua badan internasional yakni Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mendesak Pemerintah Indonesia untuk mencabut kebijakan itu.
Pada akhir Oktober 2022 lalu, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan pertama Uni Eropa (UE) terkait larangan kebijakan ekspor bijih nikel di WTO.
WTO memutuskan kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia telah melanggar Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) XX (d) GATT 1994. Atas putusan tersebut, Pemerintah Indonesia mengajukan banding.
Sementara, desakan IMF disampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6).
Merespon hal itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia, Bahlil Lahadalia langsung angkat bicara.
Airlangga menegaskan, keputusan WTO dan sikap IMF itu sama halnya gaya kolonialisme masa kini, bukan lagi menjajah suatu negara dan mengendalikannya, melainkan dengan menciptakan sebuah kebijakan yang memaksa suatu negara mengikutinya.
“Kalau ada negara lain memaksa kita untuk mengekspor komoditas, itu sering saya sebut sebagai imperialism regulation, regulator yang imperialisme,” kata Menko Airlangga di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Selasa (27/6/2023).
Menurut Airlangga, keputusan WTO dan sikap IMF itu tidak logis.
Sebab, larangan ekspor nikel mentah tersebut dalam rangka hilirisasi hasil bumi agar negara bisa merasakan nikmatnya nilai tambah.
“Sekarang kolonialisme baru itu dilakukan seperti itu, dimana kita diminta mengekspor komoditas-komoditas dan kita tidak boleh melakukan nilai tambah di dalam negeri,” ungkap Airlangga.
Namun Indonesia tidak akan mundur. Airlangga menegaskan, pemerintah akan terus memperjuangkan haknya dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki.
“Kita akan terus banding karena yang kita ekspor bukan tanah air, tapi nilai tambah,” tandasnya.
Sementara Menteri secara tegas menolak usulan IMF itu.
“Langit pun runtuh, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara dalam pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Kedua, larangan ekspor akan tetap kami lakukan,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Menurut Bahlil, jika ekspor komoditas terus dilakukan pemerintah, maka akan ada jutaan bahan baku yang akan dikirim ke luar negeri tanpa memerhatikan pengelolaan lingkungan, serta hilangnya lapangan kerja dan nilai tambah dari rekomendasi IMF tersebut.
“Berapa orang yang lapangan pekerjaannya bisa tidak kita ciptakan dengan baik, berapa nilai yang hilang akibat rekomendasi ini. Jadi, ini standar ganda yang dibangun. Pada saat bersamaan negara-negara lain itu melarang ekspor,” tegasnya.
Bahlil menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS) juga melarang ekspor chip semikonduktor.
Sebagaimana diketahui, AS berencana menerapkan kebijakan lebih ketat terkait ekspor semikonduktor ke China guna menjaga keberlanjutan bisnis domestiknya.
Bahlil lantas menuding IMF menerapkan standar ganda.
Pasalnya, disatu sisi IMF mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural tetapi pada saat yang sama menentang kebijakan larangan ekspor yang dijalankan Indonesia.
“Larangan ekspor akan tetap kita lakukan, kalau mau bawa kita ke WTO, bawa saja. Masa orang lain boleh, kita tidak boleh, yang benar saja. Negara ini sudah merdeka,” tandas Bahlil. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post