ASIATODAY.ID, JAKARTA – China menempuh berbagai cara untuk memperkuat klaimnya di laut China Selatan. Selain melalui militerisasi, China juga membentuk milisi maritim, sebuah unit elite militer dari kalangan nelayan yang diorganisir dan dilatih secara khusus. Unit tersebut berada di bawah Milisi Angkatan Bersenjata China yang merupakan salah satu dari tiga kekuatan maritim negeri itu.
Menurut Andrew Erickson, Profesor Strategi di US Naval War College (NWC)’s China Maritime Studies Institute (CMSI), milisi maritim China menjadi kekuatan militer yang paling dikhawatirkan di Laut China Selatan. Dua kekuatan maritim lainnya adalah Angkatan Laut China di bawah Tentara Pembebasan China (PLA) dan penjaga pantai (coast guard) di bawah Polisi Bersenjata China.
“Mayoritas unit elit dalam milisi maritim sebenarnya anggota milisi paruh waktu. Mereka memiliki pekerjaan normal, sebagian besar nelayan. Namun, mereka dilengkapi fasilitas-fasilitas tertentu dan selalu siap diaktifkan jika perlu diterjunkan,” jelas Erickson di forum webinar bertajuk “Penilaian Ancaman Kebijakan Laut China Selatan (LCS) oleh China” yang digelar oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Rabu (9/6/2021).
Erickson menerangkan, milisi militer mempunyai kapal dalam jumlah besar. Bahkan jika ditambah dari semua negara maritim di dunia, hanya China dan Vietnam yang membentuk milisi maritim. Namun, Vietnam tidak pernah menerjunkan dan mengaktifkan milisi maritimnya.
“Berdasarkan kajian rekan saya Ryan D Martinson, ada frasa atau istilah bahwa pemerintah China itu backbone vessel, yaitu armada kapal yang menjadi tulang punggung. Kami yakin, istilah ini merujuk kepada milisi maritim,” jelas Erickson.
Lebih jauh Erickson menerangkan, pemerintah China membentuk gugus tugas lagi, yang dinamakan unit elite, di bawah milisi maritim tersebut. Unit elite bekerja penuh waktu (full time) dan permanen.
“Mereka lebih dimiliterisasi dan milisi pusatnya berada di kota Sansha,” jelasnya.
Kapal-kapal ikan China mendapatkan subsidi penuh dan insentif dari pemerintah untuk aktivitas yang dilakukan di wilayah sengketa Laut China Selatan.
“Dari hasil pengamatan kami menunjukkan bahwa unit elite ini memiliki pola operasi sistematis, yang rapi, misalnya ada jadwal rotasi tertentu dari unit milisi maritim yang berada di Sansha ini,” ungkap Erickson.
Ia mengatakan, unit elite berotasi setiap 45-90 hari sekali di pos-pos terluar (outpost) dari tempat asal mereka di kota Sansha.
“Kami juga berhasil mendokumentasikan ketika milisi maritim di Sansha diterjunkan oleh pemerintah China, terutama terkait insiden baru-baru ini dengan Filipina,” papar Erickson.
Menurutnya, pihak pemerintah Filipina juga mengeluarkan foto-foto resmi yang memperlihatkan nomor lambung kapal dan lambang kapal dari milisi maritim China tersebut.
Sebagai referensi, Laut China Selatan menjadi perebutan banyak negara karena merupakan kawasan strategis di mana sepertiga pelayaran maritim dunia melewati perairan itu dengan nilai perdagangan setiap tahun mencapai USD3 triliun atau setara Rp 42.794 triliun). Meskipun AS bukan negara pengklaim, tapi memiliki kepentingan besar di perairan itu, utamanya dalam menciptakan stabilitas Indo Pasifik. (ATN)
Discussion about this post