ASIATODAY.ID, JAKARTA – Krisis ekologi di Indonesia kian menjadi sorotan. Pasalnya, berdasarkan data Global Footprint Network tahun 2020, Indonesia mengalami defisit ekologi hingga 42 persen. Angka ini menunjukkan, konsumsi terhadap sumberdaya lebih tinggi daripada yang saat ini tersedia dan akan menyebabkan daya dukung alam terus berkurang.
“Kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia masih belum memperhatikan modal alam secara serius,” ungkap guru besar IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Prof Dr Akhmad Fauzi, dilansir dari laman IPB University, Kamis (11/2/2021).
Menurut Akhmad, saat ini indeks modal alam Indonesia masih rendah yaitu di urutan 86. Padahal negara tropis umumnya ada di peringkat 10 besar urutan index modal alam.
“Terdapat kerusakan yang cukup masif pada alam di Indonesia. Kerusakan alam ini misalnya disebabkan oleh alih fungsi lahan. Laju pencemaran lingkungan khususnya air juga tinggi. Selain itu keberagaman alam juga sudah semakin berkurang. Hal ini membuat perekonomian nasional kita melemah. Mengabaikan modal alam berakibat memperbesar angka ketimpangan ekonomi,” jelas Akhmad.
Hal itu juga yang ditekankan olehnya dalam diskusi yang diselenggarakan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Jumat (5/2/2021). Akhmad menegaskan bahwa, pembangunan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kelestarian lingkungan. Selain itu, kearifan lokal yang ada di masyarakat juga harus diperhatikan dengan baik.
“Biasanya pembangunan yang menyertakan kearifan lokal masyarakat akan selaras dengan kelestarian lingkungan. Sehingga penting bagi Indonesia untuk melakukan upaya dalam memperbaiki paradigma pembangunan ke arah yang lebih berkelanjutan,” imbuh Akhmad.
Dalam merespons kebijakan saat ini, Akhmad memandang pemerintah Indonesia perlu melakukan reorientasi pengelolaan modal dalam pembangunan wilayahnya melalui beberapa strategi.
Strategi pertama, adalah dengan mengembangkan faktor untuk meningkatkan kompleksitas produktivitas sumberdaya untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk.
Kedua, adalah memanfaatkan sumberdaya dengan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Selama ini, ekstraksi sumberdaya alam sering menimbulkan fenomena hysterisis, yaitu dampaknya yang berlangsung lama meski penyebabnya sudah diatasi.
“Misalnya dampak akibat penggundulan hutan. Strateginya adalah menggunakan pengetahuan lama untuk melakukan sebuah terobosan baru. Membangkitkan ekonomi daerah lewat sumberdaya lokal, membangkitkan perekonomian daerah,” jelasnya.
Strategi lain terkait dengan harga sumber daya alam di pasar yang tidak mencerminkan kondisi sebenarnya yang di alam. Karena itu, penting untuk memahami biaya yang harus dibayar oleh generasi selanjutnya akibat kerusakan dari alam.
“Ekstraksi sumberdaya alam bukan hanya untuk satu generasi saja. Tata kelola modal alam harus terus diperbaiki untuk kesejahteraan generasi saat ini dan mendatang,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post