ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ekonomi global dipastikan rontok setelah Amerika Serikat (AS) mengalami inflasi tinggi dan resesi ekonomi. Pasalnya, berbagai negara akan melakukan respons kebijakan terhadap situasi di AS.
Saat ini, pertumbuhan ekonomi AS minus 0,9 persen pada kuartal II/2022. Dikutip dari NPR, ekonomi AS telah mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I/2022, produk domestik bruto (PDB) AS tercatat hanya 1,6 persen (yoy) atau mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya.
Presiden AS, Joe Biden saat ini sedang bersiap meluncurkan sejumlah stimulus untuk membendung agar ekonomi negaranya tidak jatuh lebih dalam.
Laporan Bloomberg, Kamis (28/7/2022), rekor inflasi yang menembus level tertinggi 40 tahun terakhir, melemahkan belanja konsumen dan kenaikan suku bunga Federal Reserve menjadi tekanan kuat bagi pelaku bisnis di negeri paman sam. Kenaikan bunga acuan juga membuat sektor properti kesulitan.
Ekonomi Amerika menyusut sebesar 0,9 per Juni 2022. Sebelumnya per Maret, ekonomi AS juga turun 1,6 persen. Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan suatu negara disebut resesi jika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Artinya secara kasat mata AS sudah memenuhi meski sektor tenaga kerjanya masih menunjukkan data yang kuat. Posisi ekonomi AS yang tertekan ini, menurut Presiden Joe Biden sudah dapat diperkirakan.
Dia mengatakan telah meminta Kongres untuk bertindak memberikan dukungan atas kebijakan energi hingga menaikkan pajak untuk orang kaya.
“Tidak mengherankan bahwa ekonomi melambat setelah ekonomi pulih tahun lalu dan The Fed menaikkan suku bunga seiring meningkatnya jumlah pekerjaan dan pertumbuhan belanja konsumen,” kata Biden dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari Bloomberg.
Meski demikian, Biden mendesak Kongres untuk dengan cepat meloloskan undang-undang untuk mendorong pengembangan energi bersih, menaikkan pajak pada perusahaan dan memberikan insentif untuk manufaktur semikonduktor AS. Kebijakan ini diyakini mampu menjaga pertumbuhan lapangan pekerjaan yang terjadi sejak pandemi. Produk domestik bruto yang berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut telah membuat anggota parlemen dari Partai Republik menyebut ekonomi AS berada dalam resesi. Meski demikian, kata ini tidak ada dalam pernyataan Biden.
Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell mengatakan pada hari Rabu bahwa dia tidak percaya ekonomi AS berada dalam resesi karena indikator positif seperti lapangan kerja. Fed sendiri telah menaikkan suku bunga acuan menjadi 2,25 persen hingga 2,5 persen untuk meredam ekonomi AS yang semakin panas akibat inflasi.
Situasi inflasi dan resesi di AS, juga turut direspon oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati.
“Kalau seandainya kenaikan suku bunga dan likuiditas cukup kencang, maka pelemahan ekonomi global pasti terjadi,” kata Sri Mulyani, Jumat (29/7/2022).
Menurut Sri Mulyani, berbagai negara akan mengeluarkan langkah-langkah seperti mengetatkan likuiditas dan menaikkan suku bunga sebagai respons kebijakan terhadap inflasi tinggi di AS.
Menurut Menkeu, langkah mengetatkan likuiditas dan menaikkan suku bunga tersebut pun akan menyebabkan arus modal keluar sehingga pelemahan ekonomi global tak bisa dihindari.
AS sendiri mengalami inflasi mencapai 9,1 persen yang merupakan tertinggi sepanjang 40 tahun terakhir akibat adanya krisis pangan dan energi. Krisis pangan dan energi terjadi seiring adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang merupakan produsen terbesar di dunia dari dua komoditas tersebut.
Sri Mulyani menegaskan resesi AS pasti akan mempengaruhi Indonesia mengingat negara itu merupakan negara tujuan ekspor.
“Jadi kalau mereka melemah maka permintaan terhadap ekspor turun dan harga komoditas juga turun,” tegasnya. (ATN)
Discussion about this post