ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia sudah saatnya mempercepat akselerasi pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) agar menjadi solusi atas dampak penurunan lifting minyak bumi dan gas (migas).
Pemerintah menargetkan pada 2021, lifting minyak mencapai 705.000 barel per hari, sedangkan untuk lifting gas dipatok 1,07 juta barrel of oil equivalent per day (boepd).
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno, Indonesia mengalami konsistensi penurunan lifting migasnya sejak 10 tahun lalu ketika produksi minyak mentah Indonesia tembus di bawah angka 1 juta barrel oil per day (bopd).
“Bahkan dalam 3 tahun terakhir, defisit neraca minyak Indonesia sangat memprihatinkan karena konsumsi minyak dalam negeri dua kali lipat dari produksinya,” ujar Eddy melalui keterangan tertulisnya Senin (17/8/2020).
Eddy memahami bahwa saat ini terjadi penurunan permintaan terhadap minyak mentah akibat pandemi Covid-19 dan sejumlah raksasa migas menahan kegiatan eksplorasi dan pengeborannya karena harga crude yang relatif rendah.
Namun demikian, SKK Migas dan Pertamina tidak boleh menyalahkan faktor eksternal ini sebagai kambing hitam rendahnya target lifting tahun depan
“Penurunan produksi di dua blok besar, yakni Blok Mahakam dan Rokan, harus ditanggulangi secara cepat untuk mencegah penurunan angka produksi lebih lanjut. Pertamina selaku operator harus siap secara teknis dan finansial agar investasi dan kegiatan pengeboran bisa dilaksanakan secepatnya,” jelas Eddy yang juga menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PAN.
Salah satu solusi yang ditawarkan Eddy untuk meningkatkan cadangan migas adalah dengan mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan sumber Energi Baru dan Terbarukan, khususnya tenaga hydro, surya dan angin.
Energi Baru dan Terbarukan tersebut akan menyubstitusi penggunaan energi fosil yang saat ini menjadi penyumbang terbesar dari defisit transaksi berjalan Indonesia.
Pasalnya, jika Indonesia gagal mencapai target lifting minyak 1 juta barel per hari sebagaimana ditargetkan tercapai pada 2030 dan lambat mengembangkan energi baru-terbarukan, defisit transaksi berjalan Indonesia bisa semakin lebar.
Pulau Sulawesi Kaya EBT
Potensi Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia sebenarnya sangat melimpah. PT PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Sulawesi mencatat Pulau Sulawesi kaya akan energi untuk dikembangkan sebagai basis energi hijau ini.
Menurut Senior Manager Operasi Sistem UIKL PLN Sulawesi Nurdin Pabi, Pulau Sulawesi memiliki energi angin yang melimpah pada bagian selatan Sulawesi dan energi surya pada Sulawesi Utara.
Khusus pada energi angin, ada beberapa titik wilayah Indonesia yang sangat baik untuk pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yakni Sulawesi Selatan, beberapa wilayah Jawa dan bagian timur Indonesia (Tual).
“Wilayah Sulawesi Selatan kaya angin dan wilayah Sulawesi Utara atau Manado kaya dengan energi surya, sehingga sangat cocok untuk pengembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya),” jelasnya.
Energi angin tersebut telah dibuktikan dengan hadirnya dua PLTB pertama di Indonesia yang saat ini berdiri kokoh di Sulawesi Selatan yakni PLTB Sidrap dan PLTB Jeneponto.
Kabupaten Jeneponto mampu menghasilkan angin konstan dengan kecepatan angin di atas 10 m/s. Sementara daerah lain seperti Barru, Sidrap, dan Pare Pare, potensi anginnya mendekati 7,8 m/s.
“Kekurangannya, angin belum akurat, tersedia banyak di alam tetapi dengan sifatnya yang fluktuatif maka harus ada kesiapan spinining reserve, intermisi tegangan, dan frekuensi,” jelasnya.
Sementara itu Kepala Pengembangan Proyek PT UPC Renewables Niko Priyambada mengemukakan bahwa kapasitas listrik yang dihasilkan PLTB tidak bisa dipastikan sehingga harus didukung dengan pemanfaatan energi yang bersifat based load, seperti pembangkit listrik dari batu bara yang aktif 24 jam tanpa jeda.
Hal itu karena PLTB sangat tergantung dengan kondisi angin. Seperti pada PLTB Sidrap yang memiliki dua jenis angin yakni angin besar atau angin kencang dan angin kecil. Kondisi ini dipastikan berpengaruh terhadap hasil listrik yang dihasilkan.
“Musim di Sidrap ini secara umum terlihat secara nyata yakni musim angin kecil dan musim angin besar, tetapi ada juga kejadian angin itu sedikit bahkan kadang tidak bertiup sama sekali,” ujarnya.
Dikatakan, musim angin kecil itu terjadi pada saat musim hujan yakni pada akhir November sampai awal Maret. Kemudian waktu angin besar dimulai di akhir Mei hingga Oktober dan November.
“Di antara musim itu ada masa transisi di situ juga sering tidak ada angin. Ada juga peralihan antara musim kemarau ke musim hujan atau musim hujan ke musim kemarau itu biasanya angin sedikit terjadi,” katanya.
Menurut Niko, pada musim penghujan, kondisi angin memang seringkali kencang tetapi dia tidak datang dari arah yang konsisten, jadi jarang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik PLTB Sidrap.
“Tetapi dari hasil penelitian yang sudah kami lakukan sekaligus melihat produksi selama dua tahun terakhir, hasilnya tidak beda jauh, artinya pola angin musiman yang kami dapatkan dari penelitian tidak jauh berbeda dan kita bisa menjadikannya suatu referensi,” pungkas Niko. (ATN)
Discussion about this post