ASIATODAY.ID, JAKARTA – Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) mulai fokus pada penerapan kebijakan ekonomi hijau melalui inovasi teknologi pertanian.
Langkah ini sebagai jalan baru bagi Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan rendah karbon untuk mengatasi perubahan iklim.
Bappenas menargetkan implementasi pembangunan rendah karbon dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen per tahun selama 2019-2045.
Menurut Perencana Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Irfan Darliazi, isu perubahan iklim dan lingkungan menjadi agenda penting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
Rencana pembangunan rendah karbon tidak hanya untuk ketahanan iklim tapi juga aspek sosial dan ekonomi.
“Pertumbuhan ekonomi bisa menjadi 6 persen per tahun, tapi analisis ini sebelum pandemi Covid-19,” terang Irfan dalam Webinar Low Carbon Development Indonesia (LCDI) ‘Inovasi Teknologi Berbasis Rendah Karbon di sektor Pertanian’, Kamis (24/9/2020).
Dalam prakteknya, Bappenas mencoba menguragi gesekan antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Melalui kebijakan pembangunan rendah karbon, ketiga aspek ini diharmonisasikan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dan intensitas emisi berkurang 22 persen.
Dampak pada aspek sosial, diprediksi pada 2045 tingkat kemiskinan ekstrem bisa turun 4,2 persen dan mengurangi 40 ribu kematian setiap tahun akibat polusi.
Menurut Irfan, target-target tersebut dapat dicapai dengan menggunakan teknologi yang tepat. Salah satu contoh analisis yang telah dkembangkan di Bappenas terkait adaptasi perubahan iklim adalah dengan membuat sistem adaptasi untuk sektor pertanian.
Sistem tersebut dibuat dengan mengkombinasikan informasi dari sistem ketahanan iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan sistem informasi bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sistem tersebut akan menunjukkan wilayah tertentu yang rentan terhadap bencana alam atau perubahan iklim seperti hujan atau kekeringan yang terus-menerus. Dengan begitu, pemerinta bisa melakukan intervensi.
Sistem tersebut saat ini menunjukkan wilayah intervensi kegiatan adaptasi untuk Sektor Pertanian yaitu 61 persen dari seluruh kabupaten kota di Indonesia.
“Analisis kami ketika ada kerentanan tinggi di sentra produksi padi, maka intervensi ini akan menjadi super prioritas,” kata Irfan.
Varietas Rendah Emisi
Salah satu wujud penerapan kebijakan ekonomi hijau di sektor pertanian ini melalui penggunaan varietas padi rendah emisi.
Peneliti Balai Penelitian Tanah Balitbang Kementan Dr Ir Al Dariah menjelaskan, pengembangan varietas padi rendah emisi CH4 dan berproduksi tinggi telah terbukti berhasil menurunkan emisi. Contoh varietas padi rendah emisi yang dikembangkan Balitbang adalah padi ciherang.
Padi ciherang saat ini sudah digunakan oleh 80 persen petani di seluruh Indonesia.
“Hasil perhitungan capaian penurunan emisi kementerian pertanian 2019 tertinggi berasal dari padi rendah emisi ini. Ini sebagai bukti bahwa padi tersebut sudah banyak diimplementasikan di lapangan,” terang Al Dariah.
Menurut Al Dariah, Kementan telah mengembangkan berbagai adaptasi teknologi yang dapat menekan emisi gas rumah kaca. Pilihan adaptasi diprioritaskan pada tindakan yang mampu menghasilkan co-benefit atau prioritas pertanian sejalan dengan kesepakatan global.
Pilihan inovasi teknologi rendah karbon adalah inovasi teknologi ramah lingkungan yang rendah emisi dan mendukung stabilitas dan peningkatan produksi dan produktivitas.
Capaian target produksi diprioritaskan pada optimalisasi penggunaan lahan, dan ekstensifikasi dilakukan pada lahan bercadangan karbon rendah.
“Itu semua menjadi target sektor pertanian dalam perubahan iklim,” jelas Al Dariah.
Untuk sektor pertanian, inovasi teknologi yang telah dilakukan selain pengembangan varietas padi rendah emisi adalah dengan melakukan pengelolaan tanaman padi hemat air, pengaturan penggenangan intermitten, dan sistem perairan macak-macak yang dilakukan pengelolaan pertanian terpadu.
Berbagai inovasi teknologi tersebut diharapkan dapat mendorong optimalisasi lahan, mengingat saat ini masih banyak sawah dengan indeks pertanaman yang rendah.
“Jika optimalisasi berhasil, ekspansi untuk memperluas lahan bisa ditekan karena produktivitas sudah relatif tinggi,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post