ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Republik Indonesia menegaskan bahwa transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terjadi bukan karena adanya korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kemenkeu.
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Kemenkeu merupakan salah satu penyidik tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.
“Dengan demikian, setiap kasus yang terkait dengan kepabeanan, maupun kasus yang terkait perpajakan, kami sampaikan kepada Kementerian Keuangan. Kasus-kasus itu yang secara konsekuensi logis memiliki nilai yang luar biasa besar, yang kita sebut kemarin Rp 300 triliun,” kata Ivan di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Ivan mengatakan angka Rp300 triliun merupakan potensi tindak pidana awal pencucian uang yang harus ditangani oleh Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.
“Saya pikir clear, ini bukan tentang penyimpangan atau tindak pidana korupsi yang dilakukan pegawai Kemenkeu,” tegasnya.
Ivan menambahkan, pihaknya terus melakukan koordinasi sehingga bisa menangani dengan baik kasus yang ditangani bersama antara PPATK dan Kemenkeu.
“Ini bisa kita tangani secara baik, tidak hanya dengan Kementerian Keuangan, tapi juga dengan aparat penegak hukum lain,” tutur Ivan.
Menurut dia, PPATK sudah menemukan potensi awal tindak pidana pencucian uang namun nilainya tidak mencapai Rp300 triliun. Bahkan hal tersebut sudah ditangani oleh Kemenkeu secara baik.
“Memang ada satu-satuan kasus yang dikoordinasikan, kami peroleh langsung dari Kementerian Keuangan, terkait dengan pegawai. Kami menemukan sendiri terkait dengan pegawai, tapi itu nilainya tidak sebesar itu, nilainya sangat minim,” kata Ivan.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemenkeu, Awan Nurmawan Nuh mengatakan pada prinsipnya angka Rp300 triliun bukan berasal dari korupsi atau TPPU pegawai di Kementerian Keuangan.
Dia menekankan pihaknya berkomitmen untuk melakukan pembersihan bersama-sama dengan PPATK.
“Mengenai informasi-informasi pegawai (yang terindikasi tindak pidana), kami tindak lanjuti secara baik. Intinya, ada kerjasama antara Kementerian Keuangan dan PPATK begitu cair,” tutur Awan.
Penerimaan Pajak Capai Rp279,98 Triliun
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2023 mencapai Rp 279, 98 triliun atau 16,3% dari target penerimaan Rp 1.718 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, terjadi pertumbuhan 40,4%.
“Pertumbuhan secara keseluruhan dari penerimaan pajak pada Februari 2023 ini adalah 40,35% bandingkan ada Februari 2022 yang tumbuh 36,5%,” jelas Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers Kinerja dan Fakta (Kita) di Aula Mezzanine Kemenkeu, Selasa (14/3/2023).
Penerimaan pajak sebesar Rp 279,98 triliun ini terbagi dalam empat kelompok. Pertama yaitu Pajak Penghasilan (PPH) non migas Rp 137,09 triliun atau 15,69% dari target. Bila dibandingkan tahun lalu terjadi pertumbuhan 24,35%.
Kedua, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Rp 128,27 triliun atau 17,27% dari target. Angka ini tumbuh 72,87%.
Ketiga, Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan pajak lainnya Rp 1,95 triliun atau 4,87% dari target) tumbuh 29,33%. Keempat yaituu Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar Rp 12,67 triliun atau 20,62% dari target. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu terjadi kontraksi 6,36%
“Adapun yang mengalami koreksi dan harus kita perhatikan secara saksama adalah pph migas karena lifting kita menurun dan harga minyak dunia mengalami penurunan. Sehingga PPH dari migas ini berarti turun 6,36% dari tahun lalu,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada dua bulan pertama tahun 2023 dipengaruhi oleh harga komoditas yang masih tinggi, aktivitas ekonomi yang terus membaik, serta dampak implementasi UU HPP.
Kedepannya, penerimaan pajak diwarnai kewaspadaan sejalan dengan tren penurunan harga komoditas dan normalisasi basis penerimaan.
“Namun demikian, optimisme tetap ada mengingat aktivitas ekonomi yang terus meningkat dan optimalisasi implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan,” tandas Sri Mulyani.
Hingga 28 Februari 2023, belanja negara tercapai sebesar Rp 287,8 triliun atau 9,4% Pagu APBN (Pagu), tumbuh 1,8% (yoy). Realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 182,6 triliun (8,1% dari Pagu), terdiri dari belanja K/L sebesar Rp76,4 T dan belanja non-K/L sebesar Rp 106,2 triliun.
Belanja K/L utamanya dimanfaatkan untuk percepatan penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS), pengadaan peralatan/mesin, gedung/bangunan dan sarpras/logistik, pemeliharaan jalan. jaringan/irigasi/ BMN, penyaluran bansos dan operasional K/L. Sementara belanja non-K/L utamanya didukung pembayaran manfaat pensiun, pembayaran bunga utang dan penyaluran subsidi.
“Jadi realisasi belanja pemerintah pusat yang Rp 182,6 triliun kalau kita lihat itu meningkat 6% dibandingkan tahun lalu yang untuk posisi Februari belanja pemerintah pusat adalah Rp 172,2 triliun. Kenaikan belanja 6% kita harapkan juga untuk mendukung perekonomian kita,” kata Sri Mulyani. (ATN)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post