ASIATODAY.ID, BOGOR – Indonesia menghadapi situasi darurat dalam penegakkan hukum. Karena itu, reformasi hukum mendesak untuk segera dilakukan.
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Gayus Lumbuun, mendesak Menteri Koordinator Politik dan Hukum (Menko Polhukam) untuk melakukan evaluasi besar-besaran terhadap hakim-hakim di Indonesia mulai di tingkat Mahkamah Agung (MA) hingga tingkat Pengadilan Negeri (PN).
Gayus menegaskan hal itu saat menjadi narasumber di forum Seminar Nasional bertajuk ‘Menggugat Independensi Peradilan di Era Demokrasi’ yang berlangsung di Universitas Pakuan, Kota Bogor, Senin (3/10/2022).
“Saya meminta agar melalui Mahkamah Agung ke bawah ini dirombak hakim-hakimnya, saya bicara ini bukan hanya sekarang,” kata Gayus.
Gayus yang merupakan mantan hakim agung ini mengaku pernah mengusulkan ide tersebut kepada Menkopolhukam, Mahfud MD sebelum menjadi pejabat publik.
Saat itu, Mahfud sepakat dengan usulan tersebut.
“Saya mengatakan hakim ini harus dievaluasi. Hakim Agung ada 10 orang, hakim Pengadilan Tinggi itu ada sekitar 70 (hakim), Pengadilan Negeri ada sekitar 600-an (hakim). Itu dipilih, yang baik dipertahankan yang jelek diganti,” imbuhnya.
Gayus lantas mempertanyakan usulan yang pernah disepakati oleh Mahfud, untuk melakukan reformasi hukum seperti yang diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, hukum identik dengan peradilan sehingga, untuk melakukan reformasi hukum perlu upaya menjunjung tinggi keadilan yang adil di pengadilan.
“Lalu saya bertanya, dulu Mahfud MD sepaham dengan saya, sekarang di pemerintahan, tolong disampaikan apakah beliau berubah atau tidak? Apakah saya juga dilibatkan dalam memberikan masukan seperti saat beliau setuju waktu itu?” tanya Gayus.
Sebelumnya, Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) Universitas Lambung Mangkurat, Ahmad FHadin, mengatakan, operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim agung Sudrajad Dimyati bisa dijadikan pintu masuk reformasi perubahan paradigma selamatkan peradilan.
“Budaya negosiasi penanganan perkara kerap terjadi sehingga paradigma judicial independency dan judicial accountability menjadi keharusan,” ujarnya.
Menurutnya, judicial independency diartikan kekuasaan kehakiman yang merdeka alias tidak adanya ketergantungan, sementara judicial accountability merupakan pertanggungjawaban hakim atas putusannya berdasarkan prinsip keadilan yang sesuai.
Ia menyebut masalah pengawasan hakim dan pembinaan hakim menjadi porsi besar untuk perbaikan lewat Komisi Yudisial yang memiliki peran strategis bersama Mahkamah Agung.
Selain itu, kualitas proses rekrutmen hakim agung di Indonesia harus dijalankan dengan transparan dan partisipatif agar menghasilkan para “Yang Mulia” yang memiliki prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka yang satu paket dengan pertanggungjawaban hakim atas putusannya berdasarkan prinsip keadilan yang sesuai.
Dosen hukum tata negara di Fakultas Hukum ULM ini mengatakan, OTT KPK sangat menyedihkan dan membuat Mahkamah Agung tertimpa bencana serius.
Tidak hanya dunia peradilan yang terguncang, kata dia, namun dunia pendidikan hukum pun ikut miris.
Menurut dia, risiko besar korupsi di tingkat Mahkamah Agung semakin hilangnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
“Banyak sekali kita dengar bagaimana pencari keadilan mempunyai pengalaman dan tantangan yang beragam macam saat berperkara di pengadilan lingkup di bawah Mahkamah Agung sampai tingkat kasasi sekalipun,” ujarnya.
Ia khawatir kasus kali ini hanya puncak gunung es. Ia berharap ke depan “pabrik yurisprudensi hukum” di Indonesia benar-benar melahirkan putusan yang putusan penting, berupa keadilan hakiki. (ATN)
Discussion about this post