ASIATODAY.ID, JAKARTA – Industri tekstil Indonesia berguguran ditengah gempuran produk asing. Pasalnya produk garmen dari hulu hingga hilir diisi oleh pemain besar di kawasan Asia.
Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sepuluh pabrik tekstil di Indonesia gulung tikar hingga September 2019.
“Penetrasi produk impor tinggi, sementara daya saing industri kita lemah,” terang Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam keterangannya, Kamis (12/12/2019).
Menurut Bahlil, upah tenaga kerja dan tingginya biaya produksi juga menjadi penyebab kinerja pabrik tekstil merosot. Ia memandang, bahan baku dalam negeri lebih mahal sehingga harga tekstil produk Indonesia menjadi kalah saing.
“Bahan baku di dalam negeri memang mahal, karena mesin-mesin kita yang menua sehingga perlu peremajaan,” ungkapnya.
Sejauh ini kata Bahlil, pihaknya masih mengumpulkan jumlah pabrik yang resmi ditutup dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) maupun Asosiasi Produsen Serat Sintesis dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI).
Sementara itu, Ketua Umum APSyFI Ravi Shankar menambahkan harga gas, harga listrik, aturan perpajakan hingga kepabeanan turut mempersulit ekspansi industri tekstil dalam negeri.
Ia berharap pemerintah menciptakan kebijakan yang lebih harmonis dan berpihak pada industri di Tanah Air.
“Saat ini pasar Indonesia dalam kondisi kritis karena barang masuk, barang hulu, barang hilir, garmen semuanya impor,” ujarnya.
Ravi menjelaskan pasar tekstil di bagian hulu didominasi oleh Tiongkok dan India. Sementara sektor hilir dipegang Vietnam dan Bangladesh. Negara-negara tersebut memiliki kapasitas produksi yang besar sehingga mampu merambah pasar Indonesia. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post