ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ketika laju deforestasi di Kalimantan tak lagi bisa dibendung, maka hari-hari terakhir hutan di Pulau terbesar Indonesia itu sudah di depan mata. Bencana alam dan krisis ekologi kian tak terhindarkan.
Banjir bandang yang menerjang Kalimantan Selatan (Kalsel) saat ini bukanlah peristiwa alamiah, namun banjir terjadi karena keseimbangan lingkungan sudah hilang di wilayah itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menyoroti Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang kian mengalami degradasi.
Jokowi menilai, banjir di Kalimantan Selatan adalah sebuah fenomena yang tidak pernah terjadi dalam 50 tahun terakhir. Banjir disebabkan luapan Sungai Barito akibat curah hujan yang tinggi, sehingga debit air tak mampu ditampung lagi oleh Sungai.
“Mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi banjir di Provinsi Kalimantan Selatan, curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut sehingga mengakibatkan Sungai Barito tak mampu lagi menampung debit air dan meluap ke 10 kabupaten,” kata Jokowi di Jembatan Mataraman, Kalimantan Selatan, saat jumpa pers daring, Senin (18/1/2021).
Jokowi mengungkapkan, curah hujan yang turun sangat tinggi. Tercatat dalam 10 hari berturut-turut hujan menurunkan 2,1 miliar kubik air. Padahal, daya tampung Sungai Barito diketahui sebatas 230 juta meter kubik.
“Sehingga memang tidak bisa dicegah dan meluap di 10 kabupaten dan kota. Saya hanya ingin memastikan ke lapangan,” ujar Jokowi.
Di tengah sorotan terhadap DAS Barito, jagad maya Indonesia justru ramai membincangkan sebuah gambar peta deforestasi di Pulau Kalimantan dari tahun 1950, 1985, 2000, 2005, 2010, dan 2020.
Peta itu menunjukkan bahwa laju deforestasi di Pulau terbesar di Indonesia itu sudah semakin tak terbendung.
Berdasarkan peta tersebut, pada 1950 warna hijau masih mendominasi wajah Pulau Kalimantan. Namun warna hijaunya perlahan memudar pada 1985 dan semakin memudar pada tahun 2000 dan 2005. Warna hijau Pulau Kalimantan digusur oleh warna putih yang menandakan deforestasi.
Dalam peta tersebut juga digambarkan proyeksi deforestasi pada 2010 dan 2020. Pulau Kalimantan, berdasarkan proyeksi peta tersebut, hanya akan menyisakan sedikit kawasan hutannya.
Gambar peta Kalimantan itu dibuat oleh seorang kartografer bernama Hugo Ahlenius pada 2007 silam untuk menggambarkan tersingkirnya ruang hidup orangutan di Kalimantan.
Peta dimuat oleh GRID-Arendal, organisasi nonprofit yang bergerak pada isu lingkungan hidup bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP).
Pada 2007 peta itu dijadikan bahan analisa oleh PEACE (Pelangi Energi Abadi Citra Enviro) dalam studi berjudul “Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies”.
Dalam studi itu, PEACE memproyeksi angka deforestasi di Kalimantan akan mencapai 2 juta per tahun.
Kemudian, pada 2009 peta tersebut dikutip seorang peneliti yang tulisannya dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan yang diterbitkan oleh Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Gambar peta itu belum tentu benar 100 persen, sehingga dibutuhkan riset yang lebih mendalam untuk memastikan laju deforestasi yang sesungguhnya.
Menurut analis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tutupan lahan berupa hutan telah hilang di wilayah itu.
Akibatnya, ketika hujan deras mengguyur wilayah Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut menyebabkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito tidak mampu lagi menampung air hujan sehingga meluap dan menyebabkan terjadinya banjir bandang.
“Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut ada penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar,” tulis LAPAN dilaman Facebook yang dimonitor pada Senin (18/1/2021).
Menurut LAPAN, luas hutan primer di Kalimantan Selatan menurun sebesar 13 ribu hektar, hutan sekunder 116 ribu hektar, sawah sebesar 146 ribu hektar, dan semak belukar turun sebesar 47 ribu hektar.
Secara keseluruhan, jumlah lahan yang menyusut di wilayah tersebut mencapai 322 ribu hektar. Di lain sisi, perluasan area perkebunan terjadi cukup signifikan yaitu seluas 219 ribu hektar.
Analisis LAPAN tersebut dilakukan dengan menggunakan analisa curah hujan dengan data satelit Himawari-8 oleh tim tanggap darurat bencana LAPAN. Selain itu, LAPAN juga menggunakan data mosaik Landsat untuk mendeteksi penutup lahan tahun 2010 dan 2020.
“Pengolahan data dilakukan secara digital menggunakan metode random forest sehingga mampu lebih cepat dalam menganalisis perubahan penutup lahan yang terjadi,” ungkap LAPAN.
Hal senada juga didengungkan oleh Greenpeace Indonesia. Organisasi lingkungan internasional tersebut mengungkapkan bahwa lebih dari separuh hutan hujan Kalimantan telah hilang dalam waktu 50 tahun terakhir.
“Lebih dari separuh hutan hujan Kalimantan hilang dalam 50 tahun terakhir, berganti dengan perkebunan monokultur berupa sawit dan lubang tambang batubara. Kini meningkatnya suhu bumi yang disebabkan pembakaran batu bara dan hilangnya hutan, membawa bencana Krisis Iklim ke tanah Borneo,” tulis @GreenpeaceID yang dimonitotor Senin (18/1/2021).
Baru-baru ini, lembaga konservasi World Wildlife Fund (WWF) mendengungkan bahwa lebih dari 43 juta hektare—area yang lebih besar dari Jerman—hutan telah hilang dalam lebih dari satu dekade hanya dalam beberapa titik deforestasi.
Petak hutan terus diratakan setiap tahun—terutama karena pertanian skala industri—karena daerah yang kaya keanekaragaman hayati ditebangi untuk menciptakan ruang bagi ternak dan tanaman.
Analisis WWF menemukan bahwa hanya 29 lokasi di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara yang bertanggung jawab atas lebih dari separuh hilangnya hutan global.
Amazon Brasil dan Cerrado, Amazon Bolivia, Paraguay, Argentina, Madagaskar bersama dengan Sumatera dan Kalimantan di Indonesia dan Malaysia termasuk di antara yang terkena dampak paling parah.
Di wilayah Cerrado Brasil, rumah bagi 5 persen hewan dan tumbuhan di planet ini, lahan telah dibersihkan dengan cepat untuk produksi kedelai dan ternak, yang menyebabkan hilangnya 32,8 persen kawasan hutan 2004—2017.
Panel Antar-Pemerintah PBB tentang Perubahan Iklim mengeluarkan laporan terobosan tentang penggunaan lahan pada 2019, ketika ia menguraikan serangkaian trade-off yang membayangi dalam penggunaan lahan.
Pada tahun yang sama, panel keanekaragaman hayati PBB mengatakan bahwa 75 persen dari seluruh daratan di bumi telah “rusak parah” oleh aktivitas manusia.
Hutan adalah penyerap karbon yang sangat besar, bersama dengan vegetasi lain dan tanah yang menyedot sekitar sepertiga dari semua polusi karbon yang dihasilkan manusia setiap tahun. Namun, mereka terus menghilang dengan cepat, mengancam hilangnya keanekaragaman hayati penting Bumi yang tidak dapat diperbaiki.
Ketika spesies liar menemukan ruang hidup mereka semakin menyusut setiap tahun, risiko terulangnya penyakit zoonosis—seperti pandemi Covid-19—melompat ke manusia makin tinggi.
“Kita harus mengatasi konsumsi yang berlebihan dan memberikan nilai yang lebih besar pada kesehatan dan alam daripada penekanan yang berlebihan saat ini pada pertumbuhan ekonomi dan keuntungan finansial dengan segala cara,” kata Fran Raymond Price, Kepala Praktisi Hutan WWF International, dikutip dari AFP, Rabu (13/1/2021).
“Ini demi kepentingan terbaik umat manusia: risiko munculnya penyakit baru lebih tinggi di kawasan hutan tropis yang mengalami perubahan tata guna lahan.”
Price memperingatkan bahwa jika deforestasi tidak segera diatasi, “Kita bisa kehilangan kesempatan untuk membantu mencegah pandemi berikutnya.” (ATN)
Discussion about this post