ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia dipandang telah mempraktekkan konservasi keanekaragaman hayati (Bidoversity) sejak lampau dan itu bahkan telah dimulai oleh para leluhur.
Praktek tersebut di antaranya terlihat dari pembungkus makanan masyarakat Sunda dan Jawa yang banyak menggunakan daun. Selain itu, sistem teras dan sistem talun.
Talun merupakan areal budidaya yang meliputi berbagai macam komoditas, baik tanaman perkebunan, hortikultura dan tanaman kehutanan. Dalam konteks kehutanan, kebun talun merupakan salah satu model agroforestry. Dari aspek kehutanan, Talun dijadikan model agroforestry yang lebih mengedepankan aspek konservasi karena proses tutupan lahan terbentuk dengan cepat.
“Praktik di Indonesia sesunggunya telah mencerminkan upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati,” kata Guru Besar Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Prof. Parikesit, Selasa (25/5/2021).
Menurutnya, sistem talun dapat menjamin keberadaan berbagai jenis satwa dan tanaman, baik yang bermanfaat maupun yang belum diketahui manfaatnya. Ia pun mengusulkan agar sistem talun dapat menjadi bagian dari Globally Important Agricultural Heritage System yang merupakan program dari PBB.
“Ini menjadi tugas kita untuk mendorong sistem yang berkembang secara tradisional dan itu menjadi milik bangsa Indonesia yang kemudian kita usulkan ke tingkat global sehingga harus dilindungi oleh masyarakat dunia,” imbuhnya.
“Jika terus dilakukan, maka keberadaan jenis-jenis yang memberikan manfaat tentunya akan dipertahankan di muka bumi,” ujarnya.
Lebih jauh Prof. Parikesit menjelaskan, peradaban manusia modern menjadi ancaman terbesar bagi keankearagaman hayati di muka bumi. Hal ini terjadi karena tidak bijaknya manusia dalam menempatkan alam berikut keanekaragaman hayatinya sebagai komoditas untuk dieksploitasi.
Prof. Parikesit yang juga menjabat sebagai Ketua Pusat Unggulan Lingkungan dan Ilmu Keberlanjutan Unpad ini memandang, manusia kini telah berkembang menjadi ‘the top of the top predator’.
“Berbagai kegiatan manusia di berbagai sektor pembangunan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya banyak korban, yang menyebabkan kepunahan, yang menyebabkan kelangkaan,” jelasnya.
Perkembangan teknologi informasi pun disebut memiliki sisi positif dan negatif bagi keanekaragaman hayati. Di satu sisi, perkembangan pada era reformasi diduga dapat mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati. Namun di sisi lain, melalui perkembangan teknologi informasi, propaganda terkait pentingnya mengkonservasi keanekaragaman hayati bisa dilakukan oleh masyarakat luas, tidak terbatas oleh para ilmuan atau akademisi melalui penelitian.
“Jadi berbagai propaganda pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dilakukan juga oleh masyarakat umum, melalui propaganda-propaganda yang sangat populer, dan ini dianggap sangat efektif,” pungkasnya. (ATN)
Discussion about this post