ASIATODAY.ID, JAKARTA – Penelusuran terkait dugaan adanya industri farmasi yang membuang limbah paracetamol ke Teluk Jakarta, perlahan mulai menemukan titik terang.
Dinas Lingkungan Hidup (LH) Provinsi DKI Jakarta menemukan adanya pabrik farmasi yang terbukti membuang limbah yang mengandung unsur paracetamol di Teluk Jakarta. Diketahui, pabrik tersebut berinisial MEP.
“Kami sudah temukan ada pabrik berinisial MEP, teridentifikasi membuang limbah paracetamol di Teluk Jakarta,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto, Senin (8/11/2021).
Menurut Asep, pabrik farmasi tersebut berada di kawasan yang berdekatan dengan pesisir utara Jakarta.
Untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut, Asep belum membeberkan secara detail lamanya pabrik tersebut membuang limbah Paracetamol ke Teluk Jakarta.
“Pabrik itu terbukti membuang limbah berkadar COD dan BODnya juga terbukti membuang instalasi pengolahan limbahnya yang tak diterapkan secara baik,” jelasnya.
Asep menegaskan, pihaknya telah memberikan sanksi kepada pabrik farmasi tersebut berupa sanksi administrasi dan teguran tertulis.
Selain itu, MEP juga diwajibkan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau instalasi pengolahan limbah terpadu (IPLT) selama tiga hingga empat bulan.
“Kita instruksikan kepada mereka agar memperbaiki instalasi pengolahan limbahnya dulu. Untuk membangun IPLT itu butuh waktu sekitar 3-4 bulan. Nanti kita monitor setelah 3-4 bulan, apakah dia akan melakukan perbaikan terhadap IPLTnya atau tidak,” pungkas Asep.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia akan memanggil perusahaan-perusahaan farmasi di DKI Jakarta untuk mendalami pengolahan limbah farmasi di perusahaan-perusahaan tersebut.
Tak hanya itu, 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta juga akan menjadi fokus penelusuran karena diduga berkontribusi sebagai tempat aliran limbah. Sungai-sungai itu berasal dari wilayah Bogor, Bekasi, Depok dan Jakarta.
“Semua potensial menjadi tempat berkumpul pencemaran dari daratan yang di sekitarnya. Paling efisien melakukan penanggulangan dari sumbernya,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, dalam Media Briefing Paracetamol di Teluk Jakarta pada Selasa (5/10/2021).
Temuan penelitian paracetamol yang dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan peneliti di University of Brighton, Inggris, di Teluk Jakarta kini telah direspon luas.
KLHK kini mengambil peran besar untuk menjawab masalah itu.
“Di Jakarta tercatat ada 27 perusahaan farmasi. Rencananya akan kami panggil dan cek untuk mendalami bagaimana pengelolaan limbah dan obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa dan sebagainya,” ungkap Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati.
Menurut dia, ketika obat itu sudah kedaluwarsa, maka itu akan menjadi limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dan penanganannya harus menggunakan sistem pengelolaan limbah B3,” urainya.
Sejauh ini kata dia, baku mutu air terkait paracetamol, belum ada standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baku mutu adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Cemaran paracetamol termasuk kategori emerging pollutant atau bahan pencemar baru yang belum memiliki baku mutu. Untuk memasukkan menjadi bahan baku mutu dibutuhkan penelitian secara mendalam.
“Harus ada pemantauan dan penelitian, sehingga kita bisa memasukkan ke dalam kebijakan baku mutu lingkungan. Peraturan baku mutu berdasarkan kajian lingkungan,” jelasnya.
Sementara itu, Sigit Reliantoro menambahkan, emerging pollutant termasuk salah satu unsur polutan yang jumlahnya sangat kecil, sehingga hampir tidak terdeteksi.
Menurut Sigit, bahan baku limbah farmasi di Eropa juga banyak. Pada tahun 2019, ada 3.000 bahan kimia yang berkaitan dengan farmasi.
“Setiap hari jumlahnya bertambah, sehigga kita berkejaran, mana yang diprioritaskan dahulu untuk diatur sebagai kontaminan. Pengaturannya soal bagaimana dampak kesehatan dan di lingkungan dominannya di mana, apakah tanah, sedimen air atau material lingkungan lain,” paparnya.
“Cara mengaturnya juga berbeda. Ketika di lingkungan, polutan bereaksi dengan yang senyawa lain apa saja, apakah membentuk persisten. Ini harus dilihat karena ada konsekuensi cara pengelolaannya,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post